Selamat datang di Gubuk Mayaku semoga apa yang tergores disini bisa memberikan percikan-percikan cahaya dihati terutama buat diriku sendiri

Label

Selasa, 26 Januari 2010

Poligami

Seperti biasanya setelah pengajian Selasanan, beberapa ‘aktivis’ jama’ah masih duduk-duduk berkumpul di aula. Malah kali ini nyaris lengkap. Ada kang Kimin; kang Zaini; haji Arifin; kang Slamet; kang Mansur; mas guru Manaf; si Dul; dan bahkan gus Mad dan mbah Paiman.

Kali ini kang Slamet yang membuka ‘diskusi’. “Wah, kasihan Aa’ Gym ya?! Mau itbaa’, mengikuti jejak Nabi, malah dihujat jama’ahnya.”

“Lebih kasihan lagi ibu-ibu yang selama ini mengidolakan Aa’ dan mereasa dikecewakan. Lebih-lebih Teteh Ninih, istrinya!” sahut haji Arifin yang isterinya ketua muslimat ranting. “Perempuan itu kan paling sakit jika dimadu.”

“Tapi Teteh Ninih itu kan sudah legowo, Aa’-nya kawin lagi;” kang Zaini menimpali. “Dia itu tipe perempuan yang taat dan selalu mendukung suaminya.”

“Legowo itu kan lahirnya saja!” sergah haji Arifin.

“Wah sejak kapan sampeyan jadi paranormal, tahu batin orang?” ledek kang Zaini.

“Lho, bukan begitu. Wajahnya di teve kan kelihatan!” jawab haji Arifin tak mau diledek sebagai paranormal.

“Tidak. Yang saya heran, mengapa kok jama’ahnya Aa’ menghujatnya dan orang-orang pada geger; sampai-sampai presiden segala ikut disibukkan. Ini ada apa?” si Dul nimbrung. “Bukankah sebelumnya sudah banyak tokoh yang kawin lebih dari satu; seperti petinggi PPP Hamzah Haz; mubalig sejuta umat Zainuddin MZ; aktifis gender Masdar Mas’udi; bahkan kiai Nur Muhammad Iskandar konon menjadi penasehat paguyuban Poligami yang dipimpin wong Solo itu.”

“Lain;” Gus Mad yang dari tadi seperti tidak mendengarkan, angkat bicara. “Pak Hamzah itu meskipun tokoh nasional, kan tokoh politik. Tokoh politik itu biasanya hanya dianggap milik partainya dan biasanya perilaku politiknya saja yang disorot. Zainuddin Mz dan Nur Iskandar juga begitu setelah terjun di politik. Sementara Masdar adalah pemikir yang ketokohannya tidak karena hubungan langsung dan intens dengan jama’ah.”

Gus Mad berhenti sejenak, memandangi wajah-wajah yang memperhatiannya; baru kemudian melanjutkan. “Aa’ Gym lain. Dia itu tokoh public figure sebenarnya. Dia tidak hanya mubalig, tapi juga sekaligus selebriti. Jama’ahnya adalah fans-fansnya. Aa’ adalah gabungan antara Zainuddin MZ dan Iwan Fals atau Tuti Alawiyah dan Krisdayanti. Lagi pula dia datang pada waktu yang tepat. Ibarat hujan, turun pada saat kemarau panjang. Pada saat kebanyakan kepala orang Indonesia panas oleh berbagai kesulitan dan kekecewaan, dia membawa keteduhan.”

Lagi-lagi Gus Mad berhenti sebentar, meneguk tehnya yang sudah dingin, kemudian baru melanjutkan. “Kalian tahu, kebanyakan jama’ah yang mengidolakan Aa’ adalah ibu-ibu. Mereka ini tidak hanya memuja Aa’ karena kelembutan dan kesejukan bicaranya, tapi antara lain juga keharmonisannya dengan sang isteri. Kalian lihat sendiri, dalam hampir setiap penampilannya, Aa’didampingi Teteh Ninih. Tidak jarang dalam orasinya, dia sengaja meminta dukungan isterinya itu.”

“Boleh jadi dalam pandangan jama’ahnya, khususnya ibu-ibu, Aa’ merupakan tokoh idola yang sempurna, yang tidak ada cacatnya. Ya, seperti umumnya fans terhadap tokoh idolanyalah. Bahkan untuk Aa’ ini mungkin lebih dari itu. Dalam bahasa Ainun, di mata mereka, Aa’ sudah menjadi semacam berhala. Terhadap ‘berhala’, pandangan ‘tidak ada cacat’ bisa menjadi ‘tidak boleh cacat’.”

“Dan umumnya orang Indonesia, terutama ibu-ibu, menganggap ‘kawin lagi; atau istilah populernya poligami, adalah cacat. Minimal mengurangi kesempurnaan tokoh suami. Maka ketika Aa’ kawin lagi, jama’ah selama ini menganggapnya idola tunggal yang tak bercatat pun kecewa berat dan meradang.”

“Tapi Gus,” sela kang Mansur, “poligami itu kan halal dan itbaa’ Nabi?”

Tiba-tiba jama’ah meledak, tertawa. Mas guru Manaf sambil tertawa, menuding kang Mansur. “Mentang-mentang isterinya dua!”

Kang Mansur terlihat agak sewot ditertawakan kawan-kawannya dan menyemprot mas guru Manaf: “Alaah, kamu sendiri sebetulnya kan pingin kawin lagi, tapi tak punya nyali. Dasar guru takwa. Takut isteri tua!”

Jama’ah pun semakin riuh tertawa. Setelah reda, mbah Paiman yang paling tua di antara jama’ah, tiba-tiba mengacungkan tangan dan bicara: “Begini; sebenarnya ini tidak masalah hukum. Hukumnya kan sudah jelas. Poligami boleh dengan syarat adil. Nah, yang jadi masalah kepercayaan terhadap adilnya suami inilah yang hampir tidak ada. Orang, apalagi zaman sekarang, apalagi perempuan, hampir tidak ada yang percaya ada suami yang bisa adil. Ditambah lagi maraknya kasus perselingkuhan membuat kepercayaan orang terhadap suami yang kawin lagi menjadi pupus.”

“Lho, kang Mansur ini alasannya kawin lagi justru agar tidak selingkuh, mbah;” sela mas guru Manaf. Kang Mansur melirik sengit ke arah mas guru Manaf.

“Ya, hampir semua mereka yang berpoligami selalu berkilah bahwa poligami jauh lebih baik daripada selingkuh. Ini halal dan selingkuh itu haram. Tapi ini sekaligus juga merupakan dalil penguat bagi mereka yang anti poligami untuk menuduh mereka yang berpoligami. Artinya, mereka ini melihat dorongan untuk selingkuh dan kawin lagi adalah sama. Syahwat.”

“Lho, bukankah agama memang memberi jalan, agar orang tidak terjerumus ke dalam kemungkaran, mbah?” tanya kang Zaini, “Agar tidak terjerumus dalam riba, agama memberi jalan: jual-beli. Agar tidak terjerumus dalam zina, agama memberi jalan: kawin.”

“Ya, benar;” jawab mbah Paiman sareh, “tapi yang membuat orang, terutama perempuan, semakin tidak percaya itu ialah alasan-alasan mulia yang sering dikemukakan mereka yang berpoligami, seperti untuk mengikuti jejak Nabi; memberantas perselingkuhan; dsb.”

“Lalu fatwa mbah kepada kita-kita ini, terutama kepada mas guru Manaf yang kata kang Mansur sudah ngebet pingin kawin lagi ini, bagaimana?” tanya haji Arifin.

“Istafti qalbak! Mintalah fatwa nuranimu sendiri!” jawab mbah Paiman menirukan sabda Nabi Muhammad SAW.

Suasana menjadi hening agak lama. Kemudian yang memecahkan kesunyian adalah kang Kimin ‘senior’ jama’ah yang dari tadi diam saja. “Dari tadi kita kok hanya geger bicara soal orang kawin lagi. Yang kasihan kepada Aa’lah, yang kasihan kepada isternyalah, yang kasihan kepada ibu-ibu yang mengidolakannyalah. Bukankah di negeri ini masih banyak yang lebih perlu dikasihani; misalnya para korban bencana alam yang belum benar-benar terurus; korban Lapindo yang berlarut-larut hanya dijadikan bahan diskusi; para pemimpin yang bebal terhadap kehendak umat yang dipimpinnya; para pejabat yang masih kerepotan melepaskan diri dari lilitan kepentingan materi; dan sebagainya dan seterusnya.”

Suasana kembali sunyi; sampai gus Mad memecahkannya dengan berkata: “Marilah kita tutup perbincangan kita ini dengan membaca Al-Fatihah, semoga Allah mengasihani dan merahmati kita bangsa Indonesia ini, terutama mereka yang kita kasihani. Al-Faaatihah!”


Oleh: A. Mustofa Bisri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar