Selamat datang di Gubuk Mayaku semoga apa yang tergores disini bisa memberikan percikan-percikan cahaya dihati terutama buat diriku sendiri

Label

Selasa, 26 Januari 2010

Perempuan dan Kesalehan

Akhir-akhir ini ada “tren” baru di kalangan ummat Islam: mencantumkan nukilan terjemahan ayat 21 Surat Ar-Ruum di undangan perkawinan.

Terjemahan yang dipakai adalah terjemahan Depag, yang berbunyi, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu “istri-istri” (tanda petik dari saya) dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Pilihan arti “istri-istri” untuk lafal azwaajan ayat tersebut bisa menimbulkan pertanyaan, terutama bagi mereka yang suka “mencari-cari”. Misalnya, apakah ayat ini hanya ditujukan kepada kaum laki-laki? Salah-salah ini bisa menambah “kecemburuan” kaum “feminism”, karena disini bisa mengandung “dominasi” laki-laki. Berbeda jika azwaajan diartikan ‘jodoh-jodoh’ atau ‘pasangan’ sebagaimana terjemahan banyak tafsir.

Kecuali yang khusus-khusus sebagaimana yang ditujukan, misalnya, kepada Nabi saw, istri-istri Nabi saw, dan orang-orang kafir, umumnya khitab Al-Qur’an memang ditujukan kepada kita semua (an-nas) atau kaum Mukminin. Lalu, apakah tentang hak dan kewajiban umumnya Al-Qur’an (Allah) tidak membedakan antara manusia laki-laki dan perempuan, juga antara Mukmin laki-laki dan Mukmin perempuan? (Lihat, misalnya: Q.s. 2: 285; 4: 32; 33: 35-6)

Khusus dalam hal kesalehan – yang menjadi prasyarat kebahagiaan abadi orang Mukmin – Al-Qur’an bahkan menegaskan tiadanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu (lihat, misalnya: Q.s. 3: 195; 4: 124; 16: 97; 40:40).

Laki-laki berbeda dengan perempuan karena memang dari sono-nya berbeda. Artinya, Allah memang menciptakan mereka berbeda. Dengan kata lain, perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah perbedaan fitri (Q.s. 49: 13; 92: 3; 42: 49 – 50). Dari sinilah kiranya sumber perbedaan-perbedaan yang ada antara keduanya. Lalu, apakah perlu dipertentangkan atau dipermasalahkan?

Allah-lah yang menciptakan manusia itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Dia pulalah yang – tentu saja lebih tahu – mengatur penghambaan mereka sesuai kodrat masing-masing. Orang saleh adalah hamba Allah, baik laki-laki maupun perempuan, yang dalam kehidupannya mengikuti aturan Tuhannya sesuai dengan kodratnya.

Terhadap seorang laki-laki-perempuan ini, kita melihat, ada dua sikap yang sama-sama ekstrim: pihak yang dengan ekstrem menafikan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sehingga terkesan pengingkaran terhadap fitrah, dan pihak yang dengan ekstrem membedakan antara keduanya hampir di segala hal.

Penafikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan – seiring kemajuan maaddiyah yang memang luar biasa – dapat (dan ternyata telah) mengakibatkan masalah-masalah kemasyarakatan yang dasyat. Hubungan pria dan wanita dan orang tua – anak mengalami krisis berlarut-larut. Lembaga keluarga berantakan. Tata moral jungkir balik. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Kita, misalnya, bisa melihat wanita-wanita masa kini melarikan diri dari kedudukannya yang mulia, yakni sebagai ibu, pusat kasih sayang dari mana dunia mendapatkan ketentraman. Bahkan dari kodratnya. Mereka berdalih – atau terbius – oleh slogan “kemajuan” (yang sering justru ciptaan kaum laki-laki), seperti emansipasi wanita dan feminisme (yang sering dikaburkan artinya) sebagai pembebasan atau persamaan hak tanpa melihat perbedaan fitrah.

Julukan terhormat ”ibu rumah tangga” justru membuat mereka tersipu-sipu. Malu. Al-Qur’an Surat 33 ayat 33, yang umumnya secara sempit diartikan sebagai larangan keluar rumah bagi perempuan, dianggap tidak “menzaman” dan perlu diberi takwil atau penjelasan tambahan pengecualian. Mereka lupa, dari rumah tanggalah dan sebagai ibu rumah tanggalah mereka mendidik dan membentuk – dengan kasih-sayang – generasi bangsa.

Sementara itu, “pembedaan yang ekstrem” antara pria dan wanita (biasanya juga muncul dari pihak pria) juga mengakibatkan timbulnya masalah-masalah yang umumnya diawali dengan kerugian di pihak wanita.

Dengan dalih perbedaan fitri, atau semata-mata karena merasa lebih dominant, sering kaum laki-laki seenaknya sendiri membatasi – atau minimal tak menghormati – hak-hak kaum wanita.

Maka, dengan alasan yang berbeda, tak jarang pula ada wanita lari dari maqam-nya yang terhormat: yakni sebagai reaksi dari kesewenang-wenangan kaum pria.

Wanita Muslim, seperti juga pria Muslim, mempunyai miqyas, ukuran kepatutannya sendiri sesuai dengan pedoman yang dimilikinya. Akibatnya, bila muslimat – juga muslim – menggunakan miqyas lain atas dasar pedoman lain, kiranya hanya ada dua penyebabnya: ia tak merasa atau tak tahu pedoman yang dimilikinya. Akibatnya, bila Muslimat – juga Muslim – menggunakan miqyas lain atas dasar pedoman lain, kiranya hanya ada dua penyebabnya: ia tak merasa atau tak tahu pedoman dan miqyas-nya sendiri, atau ia terlalu rapuh atau silau menghadapi kemilau pedoman dan miqyas “orang lain”.
Untuk menghadapi itu semua, tentu saja ia harus kembali kepada pedomannya sendiri. Kembali mengkaji sampai mendapatkan cukup kekuatan untuk tidak saja menggunakannya, tapi juga untuk menepis tawaran menggiurkan pedoman-pedoman lain yang justru berakibat malapetaka di kemudian hari.

Akhirnya, kiranya perlu kita simak lagi firman Allah dalam kitab suci-Nya, “Wahai segenap manusia, sungguh Aku telah menciptakan kamu semua dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kamu semua berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu semua saling mengenal; sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu semua di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Awas.” (Q.s. 49: 13).





Oleh: A. Mustofa Bisri

Poligami

Seperti biasanya setelah pengajian Selasanan, beberapa ‘aktivis’ jama’ah masih duduk-duduk berkumpul di aula. Malah kali ini nyaris lengkap. Ada kang Kimin; kang Zaini; haji Arifin; kang Slamet; kang Mansur; mas guru Manaf; si Dul; dan bahkan gus Mad dan mbah Paiman.

Kali ini kang Slamet yang membuka ‘diskusi’. “Wah, kasihan Aa’ Gym ya?! Mau itbaa’, mengikuti jejak Nabi, malah dihujat jama’ahnya.”

“Lebih kasihan lagi ibu-ibu yang selama ini mengidolakan Aa’ dan mereasa dikecewakan. Lebih-lebih Teteh Ninih, istrinya!” sahut haji Arifin yang isterinya ketua muslimat ranting. “Perempuan itu kan paling sakit jika dimadu.”

“Tapi Teteh Ninih itu kan sudah legowo, Aa’-nya kawin lagi;” kang Zaini menimpali. “Dia itu tipe perempuan yang taat dan selalu mendukung suaminya.”

“Legowo itu kan lahirnya saja!” sergah haji Arifin.

“Wah sejak kapan sampeyan jadi paranormal, tahu batin orang?” ledek kang Zaini.

“Lho, bukan begitu. Wajahnya di teve kan kelihatan!” jawab haji Arifin tak mau diledek sebagai paranormal.

“Tidak. Yang saya heran, mengapa kok jama’ahnya Aa’ menghujatnya dan orang-orang pada geger; sampai-sampai presiden segala ikut disibukkan. Ini ada apa?” si Dul nimbrung. “Bukankah sebelumnya sudah banyak tokoh yang kawin lebih dari satu; seperti petinggi PPP Hamzah Haz; mubalig sejuta umat Zainuddin MZ; aktifis gender Masdar Mas’udi; bahkan kiai Nur Muhammad Iskandar konon menjadi penasehat paguyuban Poligami yang dipimpin wong Solo itu.”

“Lain;” Gus Mad yang dari tadi seperti tidak mendengarkan, angkat bicara. “Pak Hamzah itu meskipun tokoh nasional, kan tokoh politik. Tokoh politik itu biasanya hanya dianggap milik partainya dan biasanya perilaku politiknya saja yang disorot. Zainuddin Mz dan Nur Iskandar juga begitu setelah terjun di politik. Sementara Masdar adalah pemikir yang ketokohannya tidak karena hubungan langsung dan intens dengan jama’ah.”

Gus Mad berhenti sejenak, memandangi wajah-wajah yang memperhatiannya; baru kemudian melanjutkan. “Aa’ Gym lain. Dia itu tokoh public figure sebenarnya. Dia tidak hanya mubalig, tapi juga sekaligus selebriti. Jama’ahnya adalah fans-fansnya. Aa’ adalah gabungan antara Zainuddin MZ dan Iwan Fals atau Tuti Alawiyah dan Krisdayanti. Lagi pula dia datang pada waktu yang tepat. Ibarat hujan, turun pada saat kemarau panjang. Pada saat kebanyakan kepala orang Indonesia panas oleh berbagai kesulitan dan kekecewaan, dia membawa keteduhan.”

Lagi-lagi Gus Mad berhenti sebentar, meneguk tehnya yang sudah dingin, kemudian baru melanjutkan. “Kalian tahu, kebanyakan jama’ah yang mengidolakan Aa’ adalah ibu-ibu. Mereka ini tidak hanya memuja Aa’ karena kelembutan dan kesejukan bicaranya, tapi antara lain juga keharmonisannya dengan sang isteri. Kalian lihat sendiri, dalam hampir setiap penampilannya, Aa’didampingi Teteh Ninih. Tidak jarang dalam orasinya, dia sengaja meminta dukungan isterinya itu.”

“Boleh jadi dalam pandangan jama’ahnya, khususnya ibu-ibu, Aa’ merupakan tokoh idola yang sempurna, yang tidak ada cacatnya. Ya, seperti umumnya fans terhadap tokoh idolanyalah. Bahkan untuk Aa’ ini mungkin lebih dari itu. Dalam bahasa Ainun, di mata mereka, Aa’ sudah menjadi semacam berhala. Terhadap ‘berhala’, pandangan ‘tidak ada cacat’ bisa menjadi ‘tidak boleh cacat’.”

“Dan umumnya orang Indonesia, terutama ibu-ibu, menganggap ‘kawin lagi; atau istilah populernya poligami, adalah cacat. Minimal mengurangi kesempurnaan tokoh suami. Maka ketika Aa’ kawin lagi, jama’ah selama ini menganggapnya idola tunggal yang tak bercatat pun kecewa berat dan meradang.”

“Tapi Gus,” sela kang Mansur, “poligami itu kan halal dan itbaa’ Nabi?”

Tiba-tiba jama’ah meledak, tertawa. Mas guru Manaf sambil tertawa, menuding kang Mansur. “Mentang-mentang isterinya dua!”

Kang Mansur terlihat agak sewot ditertawakan kawan-kawannya dan menyemprot mas guru Manaf: “Alaah, kamu sendiri sebetulnya kan pingin kawin lagi, tapi tak punya nyali. Dasar guru takwa. Takut isteri tua!”

Jama’ah pun semakin riuh tertawa. Setelah reda, mbah Paiman yang paling tua di antara jama’ah, tiba-tiba mengacungkan tangan dan bicara: “Begini; sebenarnya ini tidak masalah hukum. Hukumnya kan sudah jelas. Poligami boleh dengan syarat adil. Nah, yang jadi masalah kepercayaan terhadap adilnya suami inilah yang hampir tidak ada. Orang, apalagi zaman sekarang, apalagi perempuan, hampir tidak ada yang percaya ada suami yang bisa adil. Ditambah lagi maraknya kasus perselingkuhan membuat kepercayaan orang terhadap suami yang kawin lagi menjadi pupus.”

“Lho, kang Mansur ini alasannya kawin lagi justru agar tidak selingkuh, mbah;” sela mas guru Manaf. Kang Mansur melirik sengit ke arah mas guru Manaf.

“Ya, hampir semua mereka yang berpoligami selalu berkilah bahwa poligami jauh lebih baik daripada selingkuh. Ini halal dan selingkuh itu haram. Tapi ini sekaligus juga merupakan dalil penguat bagi mereka yang anti poligami untuk menuduh mereka yang berpoligami. Artinya, mereka ini melihat dorongan untuk selingkuh dan kawin lagi adalah sama. Syahwat.”

“Lho, bukankah agama memang memberi jalan, agar orang tidak terjerumus ke dalam kemungkaran, mbah?” tanya kang Zaini, “Agar tidak terjerumus dalam riba, agama memberi jalan: jual-beli. Agar tidak terjerumus dalam zina, agama memberi jalan: kawin.”

“Ya, benar;” jawab mbah Paiman sareh, “tapi yang membuat orang, terutama perempuan, semakin tidak percaya itu ialah alasan-alasan mulia yang sering dikemukakan mereka yang berpoligami, seperti untuk mengikuti jejak Nabi; memberantas perselingkuhan; dsb.”

“Lalu fatwa mbah kepada kita-kita ini, terutama kepada mas guru Manaf yang kata kang Mansur sudah ngebet pingin kawin lagi ini, bagaimana?” tanya haji Arifin.

“Istafti qalbak! Mintalah fatwa nuranimu sendiri!” jawab mbah Paiman menirukan sabda Nabi Muhammad SAW.

Suasana menjadi hening agak lama. Kemudian yang memecahkan kesunyian adalah kang Kimin ‘senior’ jama’ah yang dari tadi diam saja. “Dari tadi kita kok hanya geger bicara soal orang kawin lagi. Yang kasihan kepada Aa’lah, yang kasihan kepada isternyalah, yang kasihan kepada ibu-ibu yang mengidolakannyalah. Bukankah di negeri ini masih banyak yang lebih perlu dikasihani; misalnya para korban bencana alam yang belum benar-benar terurus; korban Lapindo yang berlarut-larut hanya dijadikan bahan diskusi; para pemimpin yang bebal terhadap kehendak umat yang dipimpinnya; para pejabat yang masih kerepotan melepaskan diri dari lilitan kepentingan materi; dan sebagainya dan seterusnya.”

Suasana kembali sunyi; sampai gus Mad memecahkannya dengan berkata: “Marilah kita tutup perbincangan kita ini dengan membaca Al-Fatihah, semoga Allah mengasihani dan merahmati kita bangsa Indonesia ini, terutama mereka yang kita kasihani. Al-Faaatihah!”


Oleh: A. Mustofa Bisri

Senin, 25 Januari 2010

Ketika Cahaya Benar – Benar Padam

Setitik cahaya itu mulai meredup

Dan semakin meredup

seiring dengan bertambahnya waktu

Menit demi menit

Detik demi detik

Dan akhirnya ia pun padam

Tidakkah kau dengar

Pecahnya tangisan yang memilukan itu ?

(Mas Ayu Fatmawati..Apr'02)

Inilah Aku

Terserah anda mau berkata apa
Aku beginilah adanya
Tanpa anda aku masih bisa berdiri
Bisa menatap hari esok dengan ceria

Menyebarkan kasih dimanapun aku berada
Dan aku berjanji pada diriku sendiri
Aku harus tetap begini
Dan akan selalu begini

(Mas Ayu Fatmawati..Apr'02)

Masterpiece karya Allah: Menemukan Kembali Al Qur’an

Rata-rata 4 kali perminggu saya mengalami forum dengan ratusan atau ribuan orang. Kalau di luar negeri, tentulah audiensnya puluhan atau ratusan, kecuali di Malaysia. Sekitar 85% audiensnya adalah orang beragama Islam. Forum itu sendiri 60% acara Kaum Muslimin, 30% umum, 10% forum khusus saudara non-Muslim. Perjalanan keliling itu berlangsung puluhan tahun, dan sepuluh tahun terakhir ini frekwensinya meningkat sekitar 30%.

Tentu sangat banyak saya berguru pada mereka, sangat tidak seimbang dengan amat sedikitnya manfaat yang saya bisa kontribusikan. Saya, sendiri atau bersama KiaiKanjeng, berposisi amat berterima kasih kepada publik, sementara hak kami untuk diterimakasihi sangat sedikit.

Saya kisahkan di sini satu hal: bahwa saya tidak pernah menyia-nyiakan perjumpaan dengan banyak orang untuk melakukan semacam direct research kecil-kecilan. Mungkin lebih bersahaja: jajag pendapat, tentang sejumlah hal prinsipil nilai orang hidup berbangsa, beragama dan bernegara. Serta sejumlah konteks aktual yang durasi dan akurasinya tidak berlaku terlalu lama. Itupun lebih saya persempit lagi: yakni sejumlah jajag pendapat dengan berbagai-bagai kalangan Ummat Islam.

Yang hasilnya terlalu lucu, naif atau sangat kurang berpengetahuan, sebaiknya tidak saya paparkan, agar saya tidak menjadi komoditas bagi penjaja tema pelecehan Islam. Umpamanya saya bertanya: “Rasulullah menyatakan bahwa Ummat Islam akan terbagi menjadi 73 bagian, yang diterima Allah hanya satu. Anda semua ini termasuk yang 72 atau yang 1?”. 100% ummat yang saya jumpai di berbagai wilayah, strata dan segmen, menjawab sama: “Yang 1″.

Yang paling terasa pada publik Islam adalah ketidaksanggupan massal untuk membedakan antara kemungkinan, kenyataan dan keinginan. Jawaban “Yang 1″ itu rata-rata tidak mereka kejar ke dalam diri mereka sendiri apakah itu keinginan, kemungkinan ataukah kenyataan. Terlalu jauh kalau saya menuntut mereka cukup memiliki parameter untuk mengukur tingkat kemungkinan dan kadar kenyataan mereka akan diterima Allah atau tidak, sebab kelihatannya ruang batin mereka sudah sangat dipenuhi oleh keinginan, yang tak terurai secara rasional dan intelektual.

Terkadang saya menggoda: “Ibu-ibu Bapak-bapak, mohon maaf saya sendiri menemukan diri saya di antara yang 72 golongan. Saya penuh dosa dan ketersesatan, sehingga sama sekali tidak berani menyatakan bahwa saya akan pernah diterima oleh Allah. Kelihatannya kans saya untuk masuk neraka lebih besar dibanding masuk sorga.”

Sering saya menyesal atas pernyataan seperti itu, karena jelas saya memberi beban pikiran dan kegelisahan hati yang menambah keruwetan hidup mereka yang sudah sangat ruwet oleh Indonesia. Apalagi mereka rata-rata tidak punya kapasitas untuk mengidentifikasi apakah pernyataan saya itu bersifat intelektual ataukah bernuansa kultural — sebagaimana sahabat kita yang kaya menawari kita “Ayo mampir dong ke gubug saya…”. Padahal harga rumahnya 5M.

Di saat lain saya bertanya: “Kalau pergi umroh atau haji, ketika berthawaf: Sampeyan cenderung mendekat-dekat ke Ka’bah termasuk supaya bisa mencium Hajar Aswad, ataukah cenderung meletakkan diri jauh-jauh dari rumah Allah?”. 100% menjawab “mendekat-dekat ke Ka’bah”. Terhadap dialog tema ini kadang saya menggoda: “Mohon maaf saya sendiri termasuk orang yang takut-takut mendekat ke rumah Allah. Datang ke Mekkah saja pekewuh. Bahkan ketika berthawaf saya hanya berani melirik sedikit-sedikit atau mencuri pandang ke Ka’bah. Sebab saya tidak merasa pantas bertamu ke rumah Allah. Bau saya busuk, kelakuan saya buruk, tidak ada cukup kepantasan untuk berada di dekat rumah Allah”.

Terkadang saya terpeleset untuk mengungkapkan : “Coba Sampeyan sebut satu saja Nabi dan Rasul yang pernah menyatakan bahwa dirinya baik. Setahu saya hampir semua menyatakan dirinya dhalim”.

Di saat lain rajin saya bertanya kepada Ummat Islam: “Apa bekal utama manusia untuk menjadi Muslim yang baik?”

100% menjawab: “Qur’an dan Hadits”. Sungguh-sungguh sangat lama saya merindukan ada jawaban yang berbeda, dan sampai hari ini belum Allah perkenankan. Memang begitu sucinya, begitu sakral dan utamanya Kitab Suci Allah dan penuturan Rasul-Nya, sehingga Ummat Islam kebanyakan lupa pada kalimat kecil di Kitab Suci itu sendiri: “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia sebagai masterpiece…” Inna khalaqnal insana fi ahsani taqwim.

Karya Allah yang tertunggul dan tertinggi derajatnya bukan Malaikat, bukan Al Qur’an, melainkan manusia.

Dengan sedih terpaksa saya katakan bahwa modal utama manusia untuk menjadi Muslim bukan Al Qur’an, melainkan akal.

Tidak fair kalau bekal utama manusia untuk menjadi Muslim adalah Al Qur’an. Pertama, jaman pasca-Muhammad hingga sekarang jauh lebih singkat dibanding pra-Muhammad sejak Adam AS. Kedua, kalau Qur’an adalah modal utama, harus kita pastikan bahwa semua Nabi Rasul dan ummat manusia sebelum Muhammad bukanlah Muslim. Dengan kata lain harus kita batasi kepercayaan dan wacana Islam hanya dimulai sejak kerasulan Muhammad. Ketiga, AlQur’an bukan makhluk hidup. Ia tidak bisa menjadi subyek aktif atas proses berlangsungnya kehidupan manusia. Al Qur’an bukan pelaku perubahan, pembangunan, sejarah dan peradaban ummat manusia. Al Qur’an itu alat perubahan.

Keempat, untuk menyebut secara sederhana: Al Qur’an 100% sia-sia bagi manusia yang tidak menggunakan modal utamanya sebagai manusia, yakni aktivitas akal. Al Qur’an jangan disodorkan kepada kambing, meskipun ia punya otak. Sedikit ke cabang: otak itu hardware. Untuk membuat otak melakukan pekerjaan berpikir, diperlukan software yang bernama akal. Al’aql. Akal tidak terletak, atau sekurang-kurangnya tidak berasal usul dari dan di dalam kepala manusia, melainkan berasal dari semacam mekanisme dialektika yang dinamis dari luar diri manusia, mungkin semacam gelombang elektromagnetik yang berpendar-pendar di seluruh lingkup alam semesta, namun dikhususkan menggumpal dan mengakurasi ke seputar ubun-ubun kepala setiap manusia.

Oleh karena itu prinsip utama menjalani Islam adalah ijtihad. Kalau jihad itu segala upaya perjuangan manusia menghidupi kehidupan. Ijtihad itu perjuangan intelektual. Mujahadah itu perjuangan spiritual. Ratusan kali Allah memfirmankan “Apakah engkau tidak berpikir?” “Apakah engkau tidak menggunakan akal?”. Masyarakat Barat dan Jepang Korea Cina sangat aktif melakukan ijtihad dan menguasai peradaban. Kaum Muslimin terlalu aktif bermujahadah tanpa imbangan ijtihad sehingga produknya adalah dekadensi dan inferioritas. Tetapi memang tidak mengherankan jika Ummat islam stuck dalam hal ijtihad. Alfikr itu pikiran, kata kerjanya yatafakkar, berpikir. Al-aql itu akal: bahasa Indonesia hanya kenal kata kerja “mengakali” dari kata dasar akal. Mengakali itu pekerjaan sangat mulia: ialah memandang dan memperlakukan segala sesuatu dengan daya akal. Tetapi “mengakali” dalam bahasa Indonesia adalah menipu, mencurangi, menyiasati dalam konotasi negatif.

Agak aneh Allah memerintahkan “Taatilah Allah, Rasul-Nya dan ulil amr di antara kalian”, tetapi yang terjadi adalah ketaatan kepada para penerus Rasul atau yang dianggap oleh umum atau yang menganggap dirinya penerus Rasul — namun tanpa tradisi ijtihad, sementara ulul amr, “petugas urusan-urusan” tak pernah ditegasi konteks dan subyeknya. Apakah Ulama mengurusi petani dan pertanian sehingga ditaati? Apakah Ustadz mengurusi pasar dan penggusuran sehingga dipatuhi? Apakah Kiai mengurusi, menguasai, memahami, mengerti dan mendalami teknologi, industri, ketatanegaraan, konstitusi dan hokum, pemetaan sosial masyarakat, hutan, sungai, laut, sehingga dipatuhi?

Hampir tak pernah terdengar fatwa tentang kehidupan nyata manusia dan masyarakat. Barusan ada fatwa satu tentang nuklir: cabang bilang haram, pusat bilang halal. Bagaimana kok ada organisasi cabangnya haram pusatnya halal. Bagaimana ada makhluk tak jelas Malaikat atau Setan. Ada satu lagi saya simpan fatwa tentang jual beli dang ganti rugi: mudah-mudahan jangan ada versi counter fatwa, karena fatwa itu tidak didasari konsiderasi ilmiah dan penelitian rasional apapun.

Islam tumbuh di Musholla dan Masjid, bertahan kerdil dalam kesempitan dan kejumudan. Pengadilan Agama hidup dari konflik-konflik rumahtangga, tidak berususan dengan keadilan keuangan rakyat, dengan keadilan atas sungai dan hutan, dengan keadilan politik, perekonomian, ekosistem, internet — sesekali muncul dari pintu belakang fatwa dan pernyataan keadilan halal dan haram tentang Presiden wanita haram, beberapa tahun kemudian berbalik menjadi halal berdasar sisi kepentingan yang sedang disangga.

Pemain-pemain sepakbola diidentifikasi, diuji, dianalisis dan dipilih oleh expert sepakbola, pelatih dan official. Kiai, Ulama, Ustadz diidentifikasi, diuji, dianalisis dan dipilih berdasarkan mata pandang industri dan kepentingan komersial. Orang Islam terlalu jauh meninggalkan akal sebagai modal utama kemuslimannya. Mereka salah sangka terhadap Al Qur’an, dan kurang peka memikirkan kemungkinan bahwa Iblis dan Setan sejak jaman dahulu kala sudah fasih membaca Quran dan mungkin menghapalnya, sebagai satu bagian strateginya untuk mengalahkan manusia.

Emha Ainun Najib

Menanti

Sendiri dalam gelap

Berteman dengan sepi

Bermain dengan sunyi

Kusadar kau tlah pergi

Waktu terus berbicara

Masih kucari seberkas cahaya

Dalam gelap kau kutunggu

Datanglah dengan lentera kasihmu



(Aku....16 Juni ‘02)

I R D

Dingin ……….
Dingin ku di sini
Kaku semua organku
Dadaku terasa beku

Malam kian mencekam
Malaikat maut siap menikam
Kuratapi semua tubuh tak berdaya
Tergeletak bersimbah darah yang menoda

Bunyi sirine silih berganti
Mengiringi tubuh yang hampir mati
Suara-suara tangis menyayat hati

Tidak ada yang bisa kuperbuat
Aku hanya bisa melihat
Aku bukan dokter
Aku hanya calon radiografer
Oh Tuhan……….
Kematian datang tiba-tiba
Maut mereka ditanganMu
Tidak ada yang bisa merubah takdirMu…


(Aku....28 April ‘02)

Minggu, 24 Januari 2010

Ku Merenung

Di saat Ayah dan ibumu tertidur lelap
coba pandangi mereka dalam2 dan bayangkan...

matanya tak akan terbuka lagi untuk melihatmu
tangannya tak mampu lg untuk menghapus air matamu
tak ada lagi nasehatnya yg sering kau abaikan

mereka yang selalu melindungimu
mereka yang selalu membahagiaknmu
mereka yang selalu menafkahimu
mereka yang selalu menjagamu
mereka yang selalu menyayangimu
mereka yang selalu mencintaimu
mereka yang selalu ada untukmu
menuruti semua kehendakmu

betapa besar pengorbananya selama ini
apabila mereka telah pergi
pergi untuk selamanya...

apakah pernah terpikir kamu sudah membahagiakannya ???


(Aku...yg Merenung 25 Jan'10)

Sabtu, 23 Januari 2010

Gus Mus Menjawab

seseorang bertanya kepada Gus Mus..'bagaimana kita melakukan amal perbuatan dg ikhlas krn Allah Swt saja, tanpa ada harapan selain ridhoNya ???

Ikhlas itu bertingkat-tingkat atau berklas-klas :

Ada yang tingkat kebanyakan orang Islam: pokoknya beramal tidak mengharapkan pujian dan pamrih apa pun dari manusia, harapannya hanya dapat pahalanya amal.

Ada yang memandang ganjaran pun tidak. Semata-mata hanya mengharapkan ridha Allah.

Ada yang bahkan tidak melihat amalnya sendiri, karena memandang amalnya itu pun dari Allah.

Untuk ikhlas beramal, ya latihan...

Jumat, 22 Januari 2010

Rekor Masuk Neraka

Andaikan makhluk yang bernama “fatwa” sudah sejak dulu menemani bangsa Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa ‘bergaul’ dengannya, sehingga tidak mudah ‘uring-uringan’ seperti yang hari-hari ini terjadi.

Misalnya di awal 1900-an kaum Ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu haram hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu fardlu kifayah (semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang menjalankannya). Sumpah Pemuda itu fardlu ‘ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak bersumpah bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya.

Berikutnya begitu Hiroshima-Nagasaki dibom atom, Ulama Indonesia sigap melontarkan fatwa bahwa memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib, sehingga masuk neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945. Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: Demokrasi itu wajib (meskipun di dalamnya ada Komunisme itu haram). Tidak mentaati UUD-45 itu haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya.

Katakanlah sejak pra Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini Majlis Ulama Indonesia sudah menelorkan lebih dari 5000 fatwa.



Makhluk Suci dari Langit

Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara Negara dengan Agama. Kita istirahat tak usah bergunjing Ulama itu sejajar dengan Umara (Pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita tunda menganalisis lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum Ulama dibanding undang-undang dan hukum Negara. Entah apapun namanya makhluk Indonesia ini: Negara sekular, demokrasi religious, kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis, atau apapun.

Kita mengandaikan saja bahwa produk kaum Ulama, khususnya Majlis Ulama Indonesia, berposisi sebagai inspirator bagi laju pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan berbangsa. Sebutlah Ulama adalah partner Pemerintah. Kaum Ulama adalah makhluk suci berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai Khalifatullah fi ardli Indonesia. Dan kita semua bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita ditemani oleh utusan-utusan Tuhan. Dulu para Rasul dengan mandat risalah, para Nabi dengan mandat nubuwwah, dan para Ulama dengan mandat khilafah.

Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak dan mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum Ulama dalam Majlisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar. Ada Ulama Pertanian, Ulama Ekologi, Ulama Perekonomian, Ulama Kehutanan, Ulama Kesehatan dan Kedokteran, Ulama, Ulama Kesenian dan Kebudayaan, Ulama Fiqih, Ulama Tasawuf dan Spiritualisme, Ulama Olahraga, dan segala bidang apapun saja yang ummat manusia mengaktivinya – karena memang seluruhnya itulah lingkup tugas khilafah atau kekhalifahan.

Tradisi Fatwa dalam Negara

Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada. Fatwa terkadang nongol, dan sangat sesekali. Mendadak ada fatwa tentang Golput, tanpa pernah ada fatwa tentang Pemilu, Pilkada, Pilpress dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat ‘canggih’. Tiba-tiba ada fatwa tentang rokok, tanpa ada fatwa tentang pupuk kimia, tentang berbagai jenis narkoba, suplemen makanan dan minuman, penggusuran, pembangunan Mal, industri, kapitalisasi lembaga pendidikan, serta seribu soal lagi dalam kehidupan berbangsa kita. MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa, tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi komprehensif antara berbagai soal dan konteks.

Itupun fatwa membatasi diri pada ‘benda’. Makan ayam goreng halal atau haram? “Dak tamtoh“, kata orang Madura. Tak tentu. Tergantung banyak hal. Kalau ayam curian, ya haram. Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang ditraktirnya hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam goring secara demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa makruh, bisa sunnah. Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena bikin ngiri orang berpuasa. Sunnah karena ia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa.

Beli sebotol air untuk kita minum, halam haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau serius berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari uang kolusi atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kedhaliman sosial atau tidak. Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh ciptaan Allah swt. Berdzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram. Misalnya suami rajib shalat dan berdzikir siang malam, istrinya yang setengah mati cari nafkah. Atau kita wiridan keras-keras di kamar ketika teman sekamar kita sedang sakit gigi.


Hak Tuhan

Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa, karena ada jarak serius antara fatwa dengan Agama, apalagi antara fatwa dengan Negara dan hukumnya. Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan.

Yang berhak me-wajib-kan, men-sunnah-kan, me-mubah-kan, me-makruh-kan dan meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan. Ulama dan kita semua hanya menafsiri sesuatu. Kalau MUI bilang “rokok itu haram”, itu posisinya beliau-beliau berpendapat bahwa karena sesuatu dan lain hal maka diperhitungkan bahwa Tuhan tidak memperkenankan hal itu diperbuat. Setiap orang, sepanjang memenuhi persyaratan methodologis dan syar’i, berhak menelorkan pendapatnya masing-masing tentang kehalalan dan keharaman rokok dan apapun. Muhammadiyah dan NU-pun tidak merekomendasikan pengharaman rokok. Artinya, para Ulama dari dua organisasi Islam terbesar itu memiliki pendapat yang berbeda.

Sebelum saya mengambil keputusan untuk mewakili pendapat Tuhan untuk mewajibkan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hal, sangat banyak persyaratan yang harus saya penuhi. Terutama persyaratan riset, seseksama mungkin. Dan ini sungguh persoalan sangat besar, ruwet, luas, detail. Kemudian andaikanpun persyaratan itu mampu saya penuhi, maka saya tidak punya hak untuk mengharuskan siapapun saja sependapat dengan saya atau apalagi melakukan dan tidak melakukan sejalan dengan pandangan saya. Sedangkan Nabi saja tidak berhak mewajibkan siapapun melakukan shalat: hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekedar menyampaikan dan memelihara kemashlahatannya.

Para Ulama dan kita semua bisa kelak teruji ternyata sepandapat dengan Tuhan, bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras Allah: “Lima tuharrimu ma ahallallohu lak”, kenapa kau haramkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhan untukmu. Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang Allah haramkan.

Mungkin benar rokok itu haram, dan saya akan masuk neraka karena itu, bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka perokok yang jauh lebih berat disbanding saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada teman saya di neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94 tahun merokok empat bungkus sehari.

Dengan demikian bangsa Indonesia akan tercatat sebagai pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok.

(By Emha Ainun Najib)

Made In Japan, Sangat Cepat

Di luar Hotel Hilton, Gus Dur bersama sahabatnya yang seorang turis Jepang mau pergi ke Bandara. Mereka naik taksi di jalan, tiba-tiba saja ada mobil kencang sekali menyalip taksinya. Dengan bangga Si Jepang berteriak, “Aaaah Toyota, made in Japan. Sangat cepat…!”

Tidak lama kemudian, mobil lain menyalip taksi itu. Si Jepang teriak lagi, “Aaaah Nissan, made ini Japan. Sangat cepat.”

Beberapa lama kemudian, taksi yang ia naiki lagi-lagi disalip mobil, dan Si Jepang teriak lagi “Aaaah Mitsubishi. Made in Japan sangat cepat…!” Gus Dur dan sopir taksi itu merasa kesal melihat Si Jepang ini bener-bener nasionalis.

Kemudian, sesampainya di bandara, sopir taksi bilang ke Si Jepang. “100 dolar, please…”

“100 dolars…?! Ini tidak jauh dari hotel.”

“Aaaah… Argometer made in Japan kan sangat cepat sekali,” kata Gus Dur menyahut Si Jepang itu.

(Gus Dur)

Dilema Cinta

Kenapa kalau kau mau berbuat dosa lalu kau urungkan niatmu bukan takut Aku marah tapi takut dia yg marah atau kecewa ?

maafkan aq bukannya aq melupakanMu...bukankah Kau dgn maha kekuasanMu yg menguasai hatiku sehinga Kau buat aq mencintainya ?..bukankah Kau yg mengirimkan dia sebagai bidadari penyelamatku untuk mencegahku berbuat dosa ?...apakah ada yg lebih hebat dariMu sehingga aq bisa menduakanMu ?...bahkan dengan cintaku kepadanya yg akhirnya aq bisa lebih mencintaimu ?....

Aku...(09 januari 2010)

Kamis, 21 Januari 2010

Ulama Aceh

Dari semua tokoh yang berkomentar terhadap laku Gus Dur seperti itu, adik kandungnyalah yang bisa memberikan gambaran tepat. “Gus Dur itu seperti sopir yang kalau belok tidak memberi richting dan kalau ngerem selalu mendadak,” ujar Salahuddin Wahid, sang adik.

Tapi, bisakah Gus Dur mengerem Aceh? Gus Dur tentu sudah mendengar Aceh itu ibarat kelapa. Seperti yang disampaikan seorang tokoh Aceh di TV. Rakyat adalah airnya, ulama adalah dagingnya, mahasiswa adalah batoknya, dan GAM
adalah sabutnya.

Tokoh tersebut berpendapat ulamalah yang harus dijaga. Sebagai ulama, tentu Gus Dur lebih tahu bagaimana caranya. Gus Dur punya humor bagaimana harusmerangkul ulama. Suatu saat rombongan ulama naik bus. Ada seorang ulama yang membuka jendela sehingga tangan si ulama keluar dari bus. Ini tentu bahaya dan melanggar peraturan “dilarang mengeluarkan anggota badan”. “Jangan sekali-kali menegurnya dengan alasan membahayakan tangan si ulama,” ujar Gus Dur. Lalu bagaimana? “Bilang saja begini: Mohon tangan Bapak jangan keluar dari jendela karena tiang-tiang listriknya nanti bisa bengkok!”.


Oleh : Gus Dur

Mikul Dhuwur Mendhem Jero

Di tempat saya ada kebiasaan dalam upacara pemberangkatan jenazah muslim, seorang yang mewakili keluarga almarhum berbicara kepada para pelayat, memohonkan maaf untuk almarhum.

Itu memang sangat diperhatikan oleh keluarga yang sangat mencintai dan menghormati anggotanya yang meninggal. Menurut keyakinan mereka, hal ini sangat penting. Karena ada hadis yang menjelaskan betapa gawatnya kesalahan antar manusia apabila tidak diselesaikan sewaktu masih hidup. Dalam hadis yang bersumber dari shahabat Abu Hurairairah r.a riwayat imam Bukhari misalnya, Nabi Muhammad SAW berpesan, “Barangsiapa mempunyai tanggungan (kesalahan yang merugikan) kepada saudaranya, baik mengenai kehormatannya atau yang lain, hendaklah dimintakan halal sekarang juga, sebelum dinar dan dirham (/uang) tidak laku….”

“Sebagai manusia biasa, almarhum dalam pergaulan dengan bapak-bapak, ibu-ibu, dan para pelayat sekalian selama hidupnya pasti mempunyai kesalahan. Karena itu kami, atas nama keluarga, dengan kerendahan hati memohon sudilah kiranya bapak-bapak, ibu-ibu, dan para hadiirin semua memaafkannya.” Antara lain begitulah kira-kira pidato wakil keluarga. Bagi keluarga yang berhati-hati dan sangat mencintai almarhum yang meninggal, biasanya kata-kata permohonan maaf itu ditambah dengan memohon penyelesaian kalau-kalau ada urusan yang menyangkut hak Adam: “Apabila ada kesalahan almarhum yang berkaitan dengan hak Adami, utang-piutang, atau yang lain, jika bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian berkenan mengikhlaskan dan membebaskannya, keluarga menghaturkan banyak-banyak terimakasih. Namun apabila tidak, bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian dapat menghubungi keluarga dan ahli waris untuk penyelesaiannya.”

Di akherat uang tidak laku. Tidak bisa untuk menebus. Tidak bisa untuk ganti rugi. Tidak bisa untuk menyogok. Pesan hadis di atas -- wallahu a’lam--: mumpung masih di dunia, belum di akherat, hendaklah kita menyelesaikan masalah kita dengan sesama. Sebab jika tidak masalah itu akan menjadi ganjalan kelak di akherat. Dalam hadis sahih yang lain, digambarkan betapa bangkrutnya seorang ahli ibadah –ahli salat, puasa, dll—gara-gara kelakuannya yang buruk terhadap sesama manusia. Suka mencaci , memukul, menuduh, melukai, memakan harta sesama. Pahala-pahala ibadah yang diharapkannya dapat mengantarkannya ke sorga, habis digunakan untuk ‘menebus’ kesalahan-kesalahannya terhadap sesama. Karena besarnya tanggungan kesalahan dan kelalimannya itu, malah menjerumuskannya ke neraka. Na’udzu billah min dzaalik.

Hal itu berlaku untuk kita dan tentu saja untuk orang-orang yang kita cintai. Orangtua, suami/istri, anak, kekasih, dan siapa saja yang tidak kita kehendaki celaka kelak di akherat. Artinya, apabila kita ingin ke sorga, tentu sekaligus kita ingin orang-orang yang kita cintai juga bersama-sama kita di sorga. Seorang ibu yang mengaku mencintai anaknya tentu ingin berbahagia bersama-sama anaknya dan tidak ingin anaknya celaka. Maka sungguh tidak bisa dimengerti apabila ada orangtua yang mengaku mencintai anaknya tapi membiarkan si anak itu kesasar di neraka. Demikian pula sebaliknya; seorang anak yang menyintai dan ingin mengangkat martabat orangtuanya, yang dalam istilah Jawa ingin mikul dhuwur mendhem jero, tentu tidak ingin orangtuanya bahagia di dunia yang fana ini saja tapi celaka di akheratnya. Anak yang mencintai dan berbakti kepada orangtuanya pasti ingin orangtuanya bahagia di dunia dan terutama di akherat.

Bahkan muslim yang baik ingin saudara-saudaranya selamat dan bahagia bersamanya terutama di kehidupan kekal kelak di akherat. Itulah sebabnya muslim yang baik terus beramar-makruf-nahi-mungkar.


Oleh: A. Mustofa Bisri

Orang Berbuat Baik

"Orang yang berbuat baik dan keliru, lebih baik dari pada orang yang berniat buruk dan benar". (Gus Mus)

Semua Orang Masuk Surga

"Seandainya semua orang masuk sorga kecuali satu orang; saya khawatir satu orang itu aku." (Sayyidina Umar Ibn Khatthab r.a. --manusia terbaik ketiga menurut Ahlu sunnah wal jama'ah)


Salad

Gus Dur nggak mati akal kalau urusan melucu. Bahkan, guyonan Gus Dur pun juga diucapkan dalam bahasa asing. Suatu ketika Gus Dur bercerita tentang ada seorang pejabat negara ini yang diundang ke luar negeri.

Dia lalu mengisahkan seorang istri pejabat Indonesia yang dijamu makan malam dalam sebuah kunjungan ke luar negeri.

Dalam kesempatan itu, kata Gus Dur, si nyonya pejabat ditawarkan makanan pembuka oleh seorang pramusaji, “you like salad, madame?”

“Oh sure, I like Salat five time a day. Shubuh, Dzuhur, Asyar, Maghrib and Isya,” jawab si Nyonya percaya diri.

Oleh : Gus Dur

Gambar Orang Beribadah

Ketika si Nanang (bukan nama sebenarnya) masih duduk di bangku SD, ia mendapat tugas kliping dari guru PMP-nya (PMP, Pendidikan Moral Pancasila. Sekarang menjadi pelajaran Kewarganegaraan).

“Coba kalian kliping gambar atau foto orang yang sedang menjalankan ibadah sesuai agamanya masing-masing. Kumpulkan minggu depannya”, perintah Ibu Guru kepada Nanang dan kawan-kawannya.

Seminggu berlalu, rupanya si Nanang lupa akan tugasnya. Hari itu, Ibu guru PMP pun menyuruh Nanang dan kawan-kawannya mengumpulkan tugas kliping.

Si Nanang pun kelabakan. Segera ia mengambil pas foto dirinya dari tasnya, dan menempelkannya di selembar kertas dan memberikannya judul ”Tugas Kliping Gambar Orang Beribadah”.

Ibu guru PMP pun memeriksa tugas murid-muridnya. Ketika sampai di meja si Nanang, Ibu guru tersebut pun marah. “Apa maksudnya kamu menempel foto kamu sendiri di lembar tugas kliping ini?, tanya Ibu guru gusar.

Nanang pun dengan tenang menjawab, ”Ini gambar orang beribadah Bu, ibadah puasa”, tandas si Nanang.

Oleh : Gus Mus

Poligami di kalangan Da'i

Dalam berbagai kesempatan Gus Dur selalu menjawab pertanyaan dengan santai dan selalu dengan joke.

Tidak terkecuali saat diminta tanggapannya tentang fenomena poligami yang menghampiri sejumlah dai dan kiai kondang. "Ya gimana ya ... Kiai itu datang ke diskotek nggak boleh, ke tempat prostitusi apalagi. Ya udah, satu-satunya jalan ya poligami itu ...."

oleh : Gus Dur

"Ora Usah Melu Macam-macam"

Ada suatu daerah di Jawa Tengah yang mayoritas berkultur nahdliyin (NU). Penduduk setempat sehari-sehari mengamalkan amaliah NU seperti tahlilan, qunut, wirid dan lain-lain. Aktivitas organisasi NU dan banom-banom-nya pun tumbuh subur termasuk banom pelajarnya, IPNU (Ikatan Pelajar NU).

Alkisah, di daerah tersebut, ada satu keluarga yang baru saja kehilangan sang ayah. Sebelum meninggal, si ayah tersebut berpesan kepada istrinya agar menjaga Nanang (bukan nama sebenarnya) putra semata wayangnya yang baru duduk di kelas X madrasah aliyah agar tetap berpegang pada ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah dan tidak terpengaruh teman-temannya dari kota yang sering mengajaknya ikut pengajian sel tertutup seperti yang seringkali dipraktekkan kaum muda Islam di perkotaan. Intinya, sang ayah berpesan agar putranya tersebut dapat mengikuti jejaknya menjadi aktivis NU dengan bergabung ke IPNU.
Menjelang tahun ajaran berakhir, tiba-tiba Nanang bertanya pada ibunya, ”Bu, aku mau naik ke kelas XI Aliyah, tapi aku bingung dengan pilihanku, masuk IPA atau IPS ya?”.

Sang ibu pun menjawab, ”Ora usah bingung-bingung le, ingat pesan bapakmu dulu, ora usah melu (ikut) macam-macam, IPA atau IPS, melu IPNU aja le”, tandas sang Ibu. Lho?? (Alf)

oleh : Gus Mus

Menyikapi Musibah

Karena bangsa ini berketuhanan Yang Maha Esa, maka ketika musibah-musibah beruntun menimpa negeri ini, banyak orang yang bertanya-tanya. Cobaankah ini, tegurankah,atau azab dari Tuhan? Ataukah ini hanya merupakan gejala alam yang biasa saja?

Lalu seperti biasa pendapat-pendapat pun dikemukakan dengan rata-rata meyakinkan.

Pendapat-pendapat itu tentu saja sesuai dengan sikap dan daya pikir serta keyakinan masing-masing.

Mereka yang biasa berpikir positif dan berhusnudzan, akan mengatakan bahwa musibah-musibah ini merupakan cobaan atau ujian dari Tuhan. Allah berfirman: "Ahasibannaasu an yutrakuu an yaquuluu aamannaa wahum laa yuftanuun. Walaqad fatannaa l-ladziina min qablihim falaya'lamanna l-ladziina shadaquu walaya'lamannaa l-kaadzibiin." (Q. 29: 2-3). "Apakah orang mengira akan dibiarkan cukup menyatakan kami beriman dan mereka tidak akan diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka dan mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta."

Di samping itu, ada hadits : "Man yuridillaahu khairan yushib minhu". Siapa yang dikehendaki Allah baik, Ia akan mencobanya. Jadi, musibah-musibah ini merupakan alamat baik bagi bangsa kita. Ibarat murid akan naik kelas, akan diuji dahulu.

Dengan husnudzan seperti ini, musibah-musibah yang beruntun justru melahirkan harapan-harapan akan datangnya kebaikan-kebaikan. Penyikapan yang disarankan pendapat ini ialah bersabar dan memperbaiki kinerja amal serta mendekatkan diri kepadaNya.

Ada yang berpendapat musibah-musibah ini merupakan teguran dari Allah. Bahkan teguran keras. Asumsinya: bangsa ini sudah keterlaluan melanggar angger-angger-Nya. Kemanusiaan yang dimuliakan Allah disia-siakan. Hukum yang menjadi penertib kehidupan tidak dihormati.

Keserakahan merajalela; hingga merampas hak-hak orang, melecehkan aturan, dan merusak alam, seolah-olah sudah menjadi budaya. Sementara agama yang seharusnya menjadi wasilah meraih ridha Allah, hanya dianggap sebagai semacam organisasi sosial-politik yang tidak jarang justru merusak kedamaian pergaulan hidup.

"Zhaharal fasaadu filbarri wal bahri bimaa kasabat aidinnaasi liyudziiqahum ba'dhal-ladzii 'amiluu la'allahum yarji'uun." (Q.30:41) Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat ulah tangan-tangan manusia, supaya Allah mencicipkan kepada mereka sebagian hasil perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar."

Maka karenanya, kita mesti melakukan muhasabah, mawas diri, memperbaiki kesalahan-kesalahan, dan meluruskan perilaku. Kembali ke jalan yang benar.

Mereka yang menganggap musibah-musibah itu merupakan azab, boleh jadi lantaran melihat kenyataan kaitannya dengan ayat dalam Quran, "Qul Hual Qaadiru 'alaa an yab'atsa 'alaikum adzaaban min fauqikum au min tahti arjulikum au yalbisakum syiyaa-'an wayudziiqa ba'dhakum ba'sa ba'dhin; unzhur kaifa nusharriful ayaati la'allahum yafqahuun." (Q.6: 65). "Katakan, Ialah Tuhan yang kuasa mengirim atas kalian azab dari atas kalian, atau dari bawah kaki-kaki kalian, atau mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok fanatik dan mencicipkan keganasan sebagian dari kalian kepada sebagian yang lain. Lihatlah bagaimana Kami mendatangkan silih berganti tanda-tanda kekuasaan Kami, agar mereka mengerti."

Kita menyaksikan apa yang menimpa bangsa ini, seolah menjadi tafsir dari ayat tersebut. Lihatlah. Dari atas: hujan deras yang mengakibatkan banjir, topan atau angin puting beliung, dsb. Dari bawah: tsunami, gempa bumi, tanah longsor, lumpur panas, dsb. Dan kehidupan sosial kemasyarakatan kita kacau oleh adanya kelompok-kelompok fanatik yang saling memperlihatkan keganasan masing-masing kepada yang lain.

Kalau pun kita menggunakan tafsir Ibn Abbas ra (bahwa azab dari atas, artinya yang diakibatkan oleh orang-orang atasan alias pemimpin dan dari bawah artinya yang diakibatkan oleh orang-orang bawahan alias rakyat), rasanya pun cocok dengan kondisi kita.

Bila musibah-musibah ini azab, semoga tidak, maka yang harus dilakukan terutama oleh umat Islam, adalah bersalawat -mencoba 'menghadirkan' Rasulullah SAW- dan beristighfar -memohon ampun kepada Allah. Kenapa? Karena menurut Quran yang dapat menolak azab Allah hanyalah kehadiran Rasulullah SAW dan istighfar ( Q. 8:33). Menurut mereka yang menganggap musibah-musibah itu merupakan gejala alam biasa, biasanya akan berbicara soal upaya peningkatan manajemen penanganan bencana dan pendidikan sadar bencana kepada masyarakat.

Waba'du; terlepas dari pendapat-pendapat orang tentang musibah-musibah beruntun yang menimpa negeri ini, sebagai pemilik negeri ini, kita tentu prihatin dan ingin agar musibah-musibah itu berhenti. Kita hargai semua pihak yang -sesuai dengan pendapat dan keyakinannya- melakukan upaya-upaya untuk itu. Mulai dari yang melakukan perbaikan diri; perbaikan kinerja; muhasabah; tobat,; meningkatkan managemen penanganan bencana; hingga 'sekadar' bersabar dan berdoa. Karena pihak-pihak itu berarti memiliki rasa tahu diri, tawaduk, memikirkan dan berbuat sesuatu untuk negerinya.

Ya, kita menghargai pihak-pihak itu katimbang mereka yang lagi-lagi hanya pamer kepintaran dengan menyalahkan pihak-pihak yang berupaya sesuai keyakinannya itu. Atau mereka yang sudah terbiasa dengan mencari kambing hitam, lalu mencari pihak-pihak yang dianggap mereka pembawa sial, sebagaimana orang-orangnya Firaun yang menganggap Nabi Musa sebagai pembawa sial.

Oleh: A. Mustofa Bisri

BUKAN KARENA INGIN

Saya yakin Anda maunya bukan menjadi Polantas dalam kehidupan di dunia yang hanya satu kali ini. Kalau mungkin, Anda maunya jadi Kapolri, atau syukur bisa jadi Presiden.

Saya yakin Anda sebenernya bukan ingin menjadi kenek bis, menjaga makanan, menjadi tlang portit, menjadi Camat atau menjadi tukang lap sepatu. Kalau mungkin sih Anda inginnya menjadi pejabar tinggi, pengusaha besar, atau syukur jadi Raja Indonesia.

Akan tetapi 'menjadi apa' itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Tuhan, sebab untuk banyak urusan dunia, Tuhan sudah memanfaatkan segala pengaturan dan tatanannya kepada para khalifah, manusia, dan kita-kita semua ini.

Meskipun demikian tentu saja jangan lupa bahwa Tuhan bukan 'cuci tangan' sama sekali. Tuhan tetap berperan, tetap menyutradarai dan bahkan menjadi 'aktor' dalam kehidupan kita pada batas-batas yang Ia maui. Oleh karena itu kita sering berjumpa dengan hukum-hukumNya, sunnah-Nya, atau janji-Nya mengenai "min haitsu la yahtasib"--bahwa siapapun jangan bersikap ojo dumeh, jangan gampang meremehkan siapapun dan apapun, jangan gampang trocoh mulutnya kalau tidak memiliki pengetahuan, jangan berbuat adigang adigung adiguna (semena-mena) kepada sesama. Karena akan bisa bertemu entah sekarang entah kapan dengan sesuatu yang tak terduga-duga. Yang "la yahtasib" itu.

Anda 'menjadi apa' itu juga ditentukan oleh tatanan sosial, oleh atmosfer politik, oleh struktur negara dan masyarakat.

Detailnya : oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang puinya negara atau tidak, atau oleh apapun lainnya yang 'ditakdirkan' oleh manusia sendiri, minimal oleh penguasa di antara mereka, meskipun tak disetujui oleh mayoritas manusia lainnya.

Saya sendiri, karena sejak kecil tahu bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh 'takdir kuasa manusia'--maka daripada saya berorientasi pada keenakan tergabung dalam kuasa manusia namun bersifat temporer dan tidak ada jaminan akan kekal--saya memilih bergabung pada kuasa Tuhan saja.

Jadi saya menggantungkan diri pada Tuhan saja. Saya bersedia menjadi tukang ojek atau dagang jual beli motor bekas, asalkan saya rasakan itu memang kehendak Tuhan.

Saya siap melakukan dan menjadi apa saja, tapi tidak boleh atas keinginan saya, melainkan atas ketentuan kekuasaan sejati yang mengatasi saya.

Saya siap melakukan kesenian, siap menjalankan komunikasi dan informasi agama, siap menyanyi, siap menyulis ilmiah, membikin skripsi akademis meskipun bukan untuk saya sendiri, siap jadi presiden Malioboro atau Dongkelan, siap jadi makelar kamper, siap membantu mengobati orang sakit (asalkan TUhan yang menyembuhkan), atau apapun saja--sepanjang itu semua tidak berangkat dari keinginan pribadi saya, melainkan merupakan kehendak yang Kuasa Mutlak atas saya, yyang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi hati alam dan masyarakat, swaraning asepi (suara kesunyian) dan kasyiful hijab (terbukanya penghalang).

Saya mengharamkan diri saya melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar ambisi pribadi atau karier. Saya wajib menjadi budak Yang Maha Kuasa.

oleh : Emha Ainun Nadjib

LELAKI KE-1000 DI RANJANGKU

Lelaki pertama yang meniduriku adalah suamiku sendiiri dan lelaki yang mencampakkan ke lelaki kedua adalah suamiku sendiri dan untuk perempuan yang begini busuk dan hampir tak mampu lagi melihat hal-hal yang baik dalam hidup ini maka lelaki kedua hanyalah saluran menuju lelaki ketiga, keempat, kesepuluh, keempat puluh, keseratus, ketujuh ratus….

Kututup pintu kamarku keras-keras, kukunci dan, “Pergi kau lelaki! Cuci mulut dan tubuhmu baik-baik sebab istrimu di rumah cukup dungu untuk kau kelabui.”

Bayangkan lelaki itu masih bisa berkata, “Kau jangan murung dan menderita, Yesus dulu disalib untuk sesuatu yang lebih bernilai bagi ummat manusia….”

“Aku tak punya Yesus! Aku pintar ngaji!” aku memotong.

Ia tersenyum , dan memandangku mirip dengan mripat burung hantu. “Kau putus asa Nia….”

“Aku memang putus asa. Bukan kau. Jadi pergilah!”

“Kau bukan perempuan yang tepat untuk berputus asa. Percayalah bahwa kehidupan ini sangat kaya. Dan aku ini laki-laki. Laki-laki sejati hanya mengucapkan kata-kata yang memang pantas dan ia yakini untuk diucapkan. Keinginanku untuk mengambilmu dari neraka ini dan mengawinimu….”

“Cukup Ron! Jangan ucapkan apa-apa dan pergi!”

“Nia!…..”

Kudorong ia keluar. Pintu kututup.

Jangan ganggu. Kini aku mau tidur. Sama sekali tidur. Jangan ada mimpi dan jangan ada apapun juga. Semua buruk dan durhaka.

Kuhempaskan tubuhku yang gembur, tenagaku yang terbengkelai dan jiwaku yang arang keranjang.

Tengah malam sudah lewat. Kulemparkan handuk kecil basah ke kamar mandi mini di pojok. Di luar, musik sudah surut. Tinggal geremang suara lelaki, sesekali teriakan mabuk. Tapi Simon lulusan Nusakambangan itu pasti bisa membereskan segala kemungkinan.

Kupasrahkan segala kesendirianku di kasur. Tubuhku tergolek dan semuanya lemas. Kuhembuskan nafas panjang. Tak cukup panjang. Dadaku selalu sesak. Sahabatku dinding, atap, almari, kalender porno, handuk-handuk—sebenarnya ini semua kehidupan macam apa? Seorang perempuan, dari hari ke hari, harus mengangkang…..

Kumatikan lampu, “Sudahlah! Aku mau tidur. Sebenar-benarnya tidur. “Tuhan, kenapa jarang ada tidur yang tanpa bangun kembali? Alangkah gampangnya ini bagiku. Namun baiklah. Asal sekarang ini jangan ada yang menggangguku. Kalau ada yang mengetuk pintu, akan kuteriaki. Kalau ia mengetuk lagi, teriakanku akan lebih keras. Kalau ia ulang lagi, akan kubuka pintu sedikit dan kuludahi mukanya. Dan kalau ia masih mencoba merayu juga, akan kubunuh.

Datanglah besok, pada jam kerja, semaumu. Nikmati tubuh dan senyumanku, kapan saja kau bernafsu. Tapi jangan ganggu saat sendiriku. Sebab tak bisa lagi aku tersenyum. Aku tak boleh tersenyum untuk diriku sendiri. Aku bisa kehabisan, sebab ratusan bahkan ribuan lelaki sudah menunggu untuk membeli dan karena itu mereka merasa berhak sepenuhnya untuk memiliki keramahanku

Padahal aku sesungguhnya tak punya keramahan lagi. Coba, siapa yang lebih bijak dari pelacur? Tersenyum terus menerus kepada setiap lelaki, meladeninya seperti seorang permaisuri yang terbaik atau setidaknya seorang istri teladan, melakukan segala kemauannya tanpa boleh menolaknya kecuali aku kehilangan kemungkinan di hari-hari berikutnnya. Aku harus ramah, supel, senyum, dalam keadaan apapun. Jadi hitunglah berapa kekuatan jiwa yang kubutuhkan untuk melakukan itu tanpa ada hentinya. Sedang Pak Kyai di desaku sudah sukar tersenyum. Meladeni sekian ratus atau sekian ribu orang tiap hari, dan ia menjadi patung yang mengulurkan tangannya. Tetapi ia dipercaya seperti Tuhan, dan aku, hanya tergantung pada dagingku.

Ah, kenapa mengeluh! Pelacur yang baik tak pernah mengeluh. Sekarang, “Tidur, tidur…”

Apa lagi? Aku sudah hampir menyelesaikan salah satu kesempurnaan hidupku di muka bumi ini. Kini aku telah sampai pada lelaki ke-993. Bukan rekor yang cukup hebat, tapi ini ambang pintu kesempurnaan tersendiri bagiku. Tiga belas bulan sudah aku menekuni karierku ini, dengan berusaha sebaik-baiknya memenuhi segala aturan dan sopan santunnya. Terhadap hampir semua lelaki, moral dan solidaritasku tinggi. Karena itu, sebagai primadona salah satu wisma “Pasar Daging” ini, rata-rata aku menerima 8 lelaki. Dalam sebulan, kira-kira libur seminggu. Dan selama ini aku ambil cuti hampir dua bulan. Cobalah hitung sendiri. Rekorku pasi lebih tinggi kalau saja tidak cukup banyak lelaki yang mengulangi hasratnya atasku beberapa kali…..

Dan besok, kukira aku akan berpesta diam-diam dalam diriku, buat lelakiku yang keseribu. Tak tahu bagaimana, ini semua tidak ada yang baik bagiku, tetapi ada hal yang menarik. Apa yang bisa menghiburku di dunia ini? Delapan lelaki setiap hari adalah hiburan yang berlebihan sehingga kehilangan daya hiburnya dan berubah menjadi kebosanan, kejenuhan dan rasa perih lahir batin. Minum? Sudah tak terhitung lagi, jiwaku sudah kebal. Nonton? Tamasya? Main kartu? Semua sudah hampa. Jangan pula sebut tentang kata-kata manis dari mulut lelaki!

Aku sudah mengecap segala yang manis dari laki-laki. Tetapi manis hanyalah manis dan kenyataan hidup adalah bau yang lain lagi. Suamiku dulu kurang apa? Anak muda yang manis, pengusaha swasta yang berhasil, caranya berjalan seperti pendekar dan mulutnya seperti pujangga. Segala mimpi dan bayangan tentang hari depan ada dalam genggamannya. Namun alasan terkuat sehingga aku menjadi istrinya adalah karena aku mencintainya, tanpa aku pernah mencintai lelaki manapun sebelumnya. Apa yang kurang? Orang tuaku melarang kehendakku karena mempertimbangkan latar belakang lelakiku: perbedaan agama, lingkungan pergaulannya, serta kata Ibu, ‘Cahaya matanya.”

Akan tetapi kata orang, “Ini zaman perubahan, anak dan orang tua tak akan bisa dipertemukan. Maka akhirnya kutempuh riwayat paling buruk dengan orang tuaku. Kami lari. Aku berbahagia sebentar, sampai akhirnya perlahan-lahan tiba saat kehidupan ini menujukkan kuku-kukunya yang asli. Suamiku nafasnya pendek. Keramahannya terhadapku singkat umurnya dan makin surut. Dan, sederhana saja, belakangan kuyakini bahwa ia mulai bermain perempuan lagi, dan ia nampak bergembira karena itu.

Teranglah sudah. Tak bisa kukuasai lukaku, tak bisa kurumuskan semua itu dengan pikiranku, dan untuk kembali ke orang tua aku amat sangat merasa dosa dan malu. Dan, untuk terperosok ke karierku yang baru ini, adalah kejadian yang sepele orang beli rokok, meskipun untuk itu aku kemudian hijrah ke kota yang jauh dari daerah kelahiranku. Soal surat-menyurat resmi? Sangat gampang dibereskan. Dan orang tuaku bukan keluarga yang cukup. Dengan kukirimi uang rutin, mulut mereka terkatup, meskipun ingatan tentang mereka merupakan siksaan sendiri bagiku. Janganlah persoalkan hal-hal sepele seperti itu. Bahkan di sini banyak kawan-kawanku yang memang sengaja dijual oleh suaminya, serta banyak contoh lain di antara puluhan ribu sahabat-sahabatku di kota ini.

“Kenapa kau bisa sampai di sini, Nia ?” banyak sekali lelaki menanyakan seperti itu. Dan jawabanku sudah “kufotocopy” ratusan lembar. Sebab aku tahu tak ada pertanyaan lelaki yang mendalam. Mereka hanya “mesin” dari nafsunya, dan untuk hal-hal yang berbau cinta, kulayani mereka cukup dengan “kertas-kertas loakan” Cinta itu tidak ada. Karena itu terlalu banyak dibicarakan.

“Kau pantas jadi bintang film!”. Ratusan lelaki memujiku. Dan mendengar itu selalu aku ingin berak.

“Mau jadi istriku?” rayunya.

“Kau yang jadi istriku, aku suamimu!” jawabku.

“Aku tidak mengerti…”

“Lelaki tak pernah mengerti!”

“Tidak semua, Nia”

‘Ya, Tidak semua. Jika lelaki ialah perempuan, maka bisa mengerti.”

“Aduh. Perempuan selalu membingungkan….”

“Lelaki selalu membunuh perlahan-lahan!”

Kalau sudah begitu mereka biasanya lantas putus asa dan cepat-cepat saja menggulatiku seperti monyet makan mangga. Tak ada bedanya. Semua yang mendatangiku adalah monyet-monyet. Biar ia sopir, pelaut, guru, pengusaha, mahasiswa, seniman, gali, penjudi, dosen, makelar, peternak, tuan tanah, pelayan, lurah, camat, jagal, pegawai, bandar, germo, botoh maupun bupati. Beberapa di antara mereka yang putus asa hidupnya, agak sedikit lebih baik. Yang lainnya menumpahkan segala dosa dan kehinaan di wajahku.

Jadi, buat apa kupikirkan monyet-monyet?

Sekarang, “Tidur, tidur….”

Tidur lebih baik dari segala sesuatu. Kalau saja ada tidur yang terbebas dari kenyang dan lapar. Kalau saja ada kamar, sekecil apapun, yang memberiku tidur yang sekekal-kekalnya….

Aku tersentak tiba-tiba oleh suara adzan yang keras. Mesjid hanya seratus meter dari tempatku ini. Jadi ini sudah pagi? Dan aku belum tidur sekejappun. Kuraih pil tidur di meja dan kutelan. Suara adzan terus mengalun dan mengejekku. Dalam warna-warni yang malang melintang di mataku, akhirnya aku lenyap ke dalam mimpi buruk. Mimpi seburuk-buruknya, yang bahkan tak pernah dialami oleh setan maupun malaikat.

Tapi tak lama. Setidaknya begitu kurasakan. Dalam remang sakit batinku terdengar ketukan di pintu, “Nia! Nia! Bangun! Ada tamu!”Aku tergeragap dan meloncat dari ranjang. Iti suara Om Jiman, germo bossku, lelaki yang beruntung di dunia, tuan tanah yang kaya raya dan berkuasa penuh atas sawah-sawahnya, yang menyediakan sawah-sawah itu untuk disingkal, disingkal, disingkal, kapan saja ia mau.

Kubuka pintu dan tersenyum. Lihat, aku tersenyum—inilah kemampuan dahsyat yang membuatku laris. Kulirik jam: 8.35 WIB .Gusti Allah, siapa gerangan lelaki yang di pagi buta begini sudah hendak beli sarapan? Kupandang tamuku itu: lelaki setengah tua gendut rapih dan berwajah pemabuk. Tak ada yang menarik. Tapi kuladeni juga seperti Ken Dedes meladeni Ken Arok. Masih sangat ngantuk dan tidur masih kuat menjadi bagian dari diriku. Tapi kuladeni. Juga lelaki berikutnya dan berikutnya lagi. Mas mas yang budiman, kenapa tak berbagi hasrat kepada sahabat-sahabatku di kamar lain, sesekali, meskipun sebagai sawah mereka kurang indah, kurang liat dan kenyal? Aku sesungguhnya bukanlah perampas ekonomi mereka.

Namun hari ini, memang “Hari Besar “ bagiku . Di sore hari, dalam tubuh dan jiwa lungkrahku, sampailah aku di pelukan lelaki ke-1000 di ranjangku. Anak muda yang menarik, pakai jean dan bawa tustel. Kelihatannya ini pegawai surat kabar.

“Mau memfoto aku bugil kan?” kucoba melangkahi maksudnya.

Ia menggeleng dan tersaenyum, “Kau tak menghendaki itu kan?”

Aku hampir menunduk. Tapi kutahankan. Tapi segala sikap dan perkataannya kepadaku sungguh lain. Aku agak gugup. Dan ini yang penting: ia tak menyetubuhiku! Aku makin gugup….

Demikianlah, kami hanya bersetubuh batin. Begitu singkat, tapi segala yang kupertahankan dibatinku ambrol. Tak tahu apa yang terjadi, tapi malam itu aku nangis….ini mimpi yang lain sama sekali. Tak tahu apa.

Ternyata karierku menajak. Dan inilah yang sebenarnya ingin kukemukakan kepadamu. Dua hari kemudian Oom Jiman pagi-pagi menyodorkan padaku sebuah Koran. Di halaman pertama pojok bawah, terpancang fotoku serta segala cerita tentang diriku: korban lelaki binal, kini meladeni 8 orang tiap hari……

Dan sebelum sempat kuselesaikan membacanya, datang dua lelaki membawa Koran yang sama. Memandangku dengan aneh, satunya tersenyum. Kemudian datang lagi dan lagi, lelaki dengan Koran di tangannya. Tingkah lakunya macam-macam, pendekatannya kepadaku beraneka ragam . Mereka antri di depan pintu. Kawan-kawanku sibuk menggunjingkanku. Ada yang senang, nelangsa, marah. Bagaimanapun aku yang memang cantik ini memang saingan mereka. Si Minah merampas koran dari salah seorang lelaki dan merobek-robeknya, kemudian menangis sekeras-kerasnya. Aku bingung, “Ayo, berapa lelaki merangkak diranjangku dalam sehari? Sepuluh? Dua belas ? lima belas?Atau lima orang sekaligus mau jadi babi mabuk di seputar tubuhku?” semoga aku mati sebelum hancur sama sekali. Semoga ada yang menulari Herpes ke tubuhku supaya kusebarkan ke seluruh lelaki yang datang dan meluas ke seantero kota dan seluruh negeri. Aku toh bisa menikamkan pisau ke perutku sewaktu-waktu…..

oleh : Emha Ainun Najib

Bidadari itu Dibawa Jibril

Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi. Ketika di perguruan tinggi dia justru seperti mendapat kesempatan lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.


Dalam soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang semangat-semangatnya berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila dia melihat sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya yang muslimah--dia biasa memanggilnya ukhti--jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia akan menyemprotnya dengan lugas.

Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan memegang gelas tangan kiri, "Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal tayammun;" katanya, "Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu yang baik, menggunakan tangan kanan!" Dosen yang lain ditegur terang-terangan karena merokok. "Merokok itu salah satu senjata setan untuk menyengsarakan anak Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak pantas mencontohkan hal buruk seperti itu." Dia juga pernah menegur terang-terangan dosennya yang memelihara anjing. "Bapak tahu enggak? Bapak kan muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau datang ke rumah orang yang ada anjingnya!"

Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang Islam, Hindun selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran dan kemaksiatan yang merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak dilakukan oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan banteng luka. Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang Islam melakukan perbuatan yang menurutnya tidak rasional, langsung dia mengecapnya sebagai klenik atau bahkan syirik yang harus diberantas. Dia pernah ikut mengoordinasi berbagai demonstrasi, seperti menuntut ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat; demonstrasi menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga demonstrasi menuntut diberlakukannya syariat Islam secara murni. Mungkin karena itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia tidak marah, tetapi juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang penting menurutnya, orang Islam yang baik harus selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar dan menyeleweng dari rel agama.

Bagi Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari tangan besi.Ketika beberapa lama kemudian dia menjadi istri kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian bertambah, tetapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan agak berkurang. Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat, namun sabar dan lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu, dengan kesabaran dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam melakukan amar makruf nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal, justru menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh dia.*

Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan Hindun. Dulu sering aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi. Saling bertanya kabar. Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak menelepon. Aku sendiri pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu kalau tidak terdengar nada sibuk, ya, tidak ada yang mengangkat. Karena itu, ketika Mas Danu tiba-tiba menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang menggembirakan.

Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas kerinduan.Setelah saling tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang, "Mas, Sampeyan sudah dengar belum? Hindun sekarang punya syeikh baru lo?

"Syeikh baru?" tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar."Ya, syeikh baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti enggak percaya.

"Siapa, mas?" tanyaku benar-benar ingin tahu."Jibril, mas. Malaikat Jibril!""Jibril?" aku tak bisa menahan tertawaku.

Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda atau tidak."Jangan ketawa! Ini serius!

"Wah. Katanya, bagaimana rupanya?" aku masih kurang percaya."Dia tidak cerita rupanya, tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti Sampeyan.

"Saya ngakak. Tetapi, di seberang sana, Mas Danu kelihatannya benar-benar serius, jadi kutahan-tahan juga tawaku. "Bagaimana ceritanya, mas?

"Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian seniman; pengajian pensiunan; dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.

"Bagaimana mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?""Lo, malaikat Jibrilnya sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya itu, maksud saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.

"Ya, tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas!" selaku, "Kan ada cerita, dahulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tetapi, karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.

"Tak tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya lo."Wah."Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu dia akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun.

Aku membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin memurnikan agama itu kini "hanya" menjadi pengikut sebuah aliran yang menurut banyak orang tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah Mahakuasa! Dialah yang kuasa menggerakkan hati dan pikiran orang.

Beberapa minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas Danu. Kali ini, dia bercerita tentang istrinya dengan nada seperti khawatir.

"Wah, mas; Hindun baru saja membakar diri. "Apa, mas?" aku terkejut setengah mati, "membakar diri bagaimana?

"Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka dengan spritus kemudian membakarnya.

"Hei," aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga, soalnya aku pernah mendengar di luar negeri pernah terjadi jemaah yang diajak guru mereka bunuh diri.

"Yang lucu, mas," suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, "gurunya itu yang paling banyak terbakar bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak dosanya ya, mas?!

"Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon."Doakan sajalah mas!" kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.

Beberapa hari kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa istrinya kini jarang pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan jemaahnya berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi suci. Memperbaiki dunia yang sudah rusak ini.

"Pernah pulang sebentar, mas" kata Mas Danu di telepon, "dan Sampeyan tahu apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat dari mana?"***Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba menghubunginya juga tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak ada hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat: "Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis SMS itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan masya Allah.

Oleh: A. Mustofa Bisri
Rembang, Akhir Ramadan 1423

Mbok Yem

Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah aku bisa menemukan ibu dan adikku di pondokan mereka di Mekkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing menempati kapling semuat dua orang yang hanya diberi sekat kopor-kopor. Di tengah-tengah ada sedikit ruang kosong yang dipenuhi bermacam-macam makanan dan peralatan makan. Ibu memperkenalkan saya kepada kawan-kawan kelompoknya.

Ini anak saya yang belajar di Mesir;" katanya bangga. "Sudah empat tahun tidak pulang."

Malu-malu saya menyalami mereka satu per satu. Di antara mereka itu ada dua sejoli yang sudah sangat tua. Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki dan dipanggil Mbah Joyo lebih tua lagi. Beberapa tahun lebih tua dari Mbok Yem, istrinya. Berbeda dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem orangnya ramah dan banyak bicara, mendekati ceriwis.

Yang kemudian menarik perhatian, sekaligus membuatku agak geli, adalah kemesraan kedua sejoli itu. Mereka laiknya pengantin baru saja. Seperti tidak menghiraukan senyum-senyum dan lirikan-lirikan menggoda kawan-kawannya yang memperhatikan mereka, Mbok Yem menggelendot manja di pundak Mbah Joyo.

"Pak, kita beruntung ya," katanya sambil mengelus rambut suaminya yang putih bagai kapas. "Nak Mus ini belajar agama di Mesir, dia bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing manasik kita." Lalu ditujukan kepadaku, "Bukan begitu, Nak Mus?"

Aku mengangguk saja sambil tersenyum.

"Kalau perlu Nak Mus pasti tidak keberatan mengantar kita ke mana-mana," katanya lagi. "Nanti Mbok Yem bikinkan sayur asem kesukaan Mbah Joyo. Mbok Yem paling ahli bikin sayur asem. Tanyakan Mbah Joyo ini, lidahnya sampai njoget jika Mbok Yem masak sayur asem."

"Tapi dia juga baru sekarang ini ke Mekkah," tukas ibuku. "Jadi di sini pengalamannya tidak lebih banyak dari kita-kita ini."

"Ya, tapi Nak Mus kan pasti pandai bahasa Arab; jadi tak akan kesasar dan bisa menolong kita jika belanja. Kita tak perlu lagi menawar-nawar pakai bahasa isyarat, kaya orang bisu."

Orang-orang pada ketawa.

"Tapi, Nak Mus ini kan tidak tinggal di sini bersama kita," kata salah seorang jamaah sambil menyodorkan segelas teh. "Terima kasih!" aku menyambut teh panas yang disodorkan.

"Ya, Nak Mus tinggalnya di mana?" tanya yang lain.

"Saya tinggal bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain," kataku, "tapi tidak jauh dari sini kok. Saya bisa sering kemari."

"Nah, Pak, nanti kita bisa jalan-jalan ke mana saja tanpa khawatir," kata Mbok Yem lagi sambil memijit-mijit lengan Mbah Joyo. "Kita punya pengawal yang masih muda dan bisa berbahasa Arab."

"Kamu ini bagaimana," Mbah Joyo yang dari tadi hanya diam dan senyum-senyum tiba-tiba angkat bicara. "Nak Mus ke sini ini kan bukan untuk kamu saja. Tapi terutama untuk ibu dan adiknya yang sudah lama tidak bertemu. Mereka pasti ingin berkangen-kangenan."

"Ya, saya tahu," sahut Mbok Yem sambil mleroki suaminya. "Saya juga tidak bermaksud menguasai Nak Mus sendiri. Maksud saya kita bisa nginthil, ikut bersama-sama ibu dan mbak bila mereka ke masjid atau ke mana saja."

"Enak saja!"

"Sudah, sudah," kata ibuku memotong. "Sudah jam setengah sebelas. Ayo kita siap-siap ke masjid!"
***

Alhamdulillah, sejak di Arafah saya bisa bergabung bersama rombongan ibu. Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke padang luas yang menjadi seperti lautan tenda itu. Beberapa orang tampak letih. Justru Mbok Yem dan Mbah Joyo --anggota rombongan yang paling tua-- sedikit pun tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan. Bahkan pancaran semangat dua sejoli ini tampak jelas seperti mempermuda usia mereka. Ketika paginya, saya ajak mereka keluar kemah untuk melihat suasana Arafah yang begitu luar biasa. Meski mentari belum begitu mengganggu dengan sengatan panasnya, dia telah memberikan cahayanya yang benderang pada hamparan putih Arafah. Sejauh mata memandang, putih-putih tenda dan putih-putih kain ihram mendominasi pemandangan. Di sana-sini bercuatan bendera-bendera negara atau sekadar tanda rombongan jamaah tertentu. Dari kejauhan tampak "bukit manusia" dengan puncak sebuah tugu yang juga berwarna putih. "Apakah itu Jabal Rahmah?"

"Ya, itulah Jabal Rahmah."

"Apa betul itu tempat pertemuan pertama Bapa Adam dengan Ibu Hawa setelah mereka turun dari sorga?"

"Wallahu a’lam ya, tapi memang banyak yang percaya."

"Apa kita akan ke sana?"

"Ah, tak perlu. Lagi pula itu jauh. Kelihatannya saja dekat. Wukuf yang penting di Arafah, beristighfar dan berdoa. Di sini saya kira kita bisa lebih khusyuk."

Ketika kembali ke kemah, tampaknya kawan-kawan jamaah masih membawa kesan mereka dari melihat panorama yang belum pernah mereka saksikan itu.

"Orang kok sekian banyaknya itu dari mana saja ya?"

"Ya, ada yang hitam sekali, putih sekali, yang coklat, malah ada yang seperti tomat kemerah-merahan."

"Sekian banyak orang kok pakaiannya putih-putih semua, masya Allah!"

Semua yang berbicara itu mengarahkan pandangannya kepadaku, seolah-olah komentarku memang mereka tunggu. Atau ini hanya perasaanku saja. Tapi aku bicara juga. "Kata guru saya, inilah gambaran mini nanti saat kita di padang Makhsyar, ketika semua orang dibangunkan dari alam kubur. Tak ada kaya tak ada miskin; tak ada orang besar tak ada orang kecil; tak ada bangsawan tak ada jelata; semuanya sama. Semuanya digiring di padang terbuka seperti di Arafah ini. Bedanya, di sini masih ada tenda dan naungan-naungan lain; di sana kelak, tidak. Masing-masing orang akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatannya selama hidup di dunia."

Aku berhenti, karena kudengar ada isak tangis yang semakin lama semakin mengeras. Ternyata tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo yang juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun terdiam. Sampai datang seorang petugas kloter menyuruh semuanya bersiap-siap untuk acara salat bersama --Dhuhur dan Asar-- dan melanjutkan ritual wukuf dengan berdzikir dan berdoa.

Aku perhatikan, sejak selesai acara salat dan berdoa bersama, hingga akhirnya masing-masing berdzikir dan berdoa sendiri-sendiri, Mbok Yem dan Mbah Joyo terus menangis dan hanya mengulang-ulang astaghfirullah, astaghfirullah... Memohon ampun kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli tua ini berdzikir atau berdoa yang lain.
***
Malam ketika arus air bah kendaraan dan manusia mengalir dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina, di atas bus kami sendiri, hanya terdengar talbiyah dan takbir. Kecuali sepasang mulut yang masih terus beristighfar. Mulut Mbok Yem dan Mbah Joyo.

Menjelang dini hari kami sampai wilayah Muzdalifah. Dari kejauhan, kerlap-kerlip lampu tampak semakin memperindah panorama Masy’aril Haram. Bus kami berhenti dan rombongan berhamburan turun dalam gelap, mencari batu-batu kerikil untuk melempar Jamrah. Ibu aku minta tetap di bus, aku dan adikku saja yang turun. Yang lain ternyata turun semua. Beberapa di antaranya ada yang sudah siap dengan lampu senter kecil dan kantong kain tempat batu-batu kerikil. Di sana-sini terlihat beberapa kendaraan juga sedang parkir, menunggu para penumpangnya mencari kerikil.

"Jangan jauh-jauh!" terdengar suara ketua rombongan memperingatkan. Orang-orang tidak mau mendengarkan. Bukan karena apa-apa. Mereka sudah telanjur tidak simpati kepada petugas yang menurut mereka hanya pandai bicara saja. Tak pernah ngurus jamaah. Menemui jamaah hanya kalau mau menarik pungutan ini-itu yang tidak jelas peruntukannya.

Tapi ketika sudah cukup lama dan masih banyak yang ke sana-kemari, aku dan beberapa orang yang sudah dari tadi selesai mencari kerikil, ikut membantu ketua rombongan meneriaki dan bertepuk-tepuk tangan; memperingatkan mereka agar segera naik kendaraan. Apalagi sopir bus --orang Mesir-- sudah ngomel-ngomel terus sambil naik-turun bus, tidak sabar. Apalgi kendaraan-kendaraan yang lain pun sudah cabut bersama para penumpangnya menuju Mina.

Mereka akhirnya kembali juga naik bus, meski ada di antara mereka yang sambil menggerutu, "Sopir kok didengerin. Ini kan ibadah. Di sini aturannya kita kan menginap. Mengapa buru-buru?"

"Sudahlah, mungkin si sopir mempertimbangkan padatnya lalu-lintas, takut terlambat sampai Mina," aku mencoba menyabarkan si penggerutu."Lagi pula kita kan di sini sudah melewati jam 12. Jadi sudah terhitung menginap."

Tiba-tiba, ketika ketua rombongan baru mengabsen dan menghitung jamaah, terdengar Mbok Yem teriak histeris, "Mbah Joyo! Mana Mbah Joyoku?!" Seketika semuanya baru menyadari bahwa Mbah Joyo belum kembali. Mbok Yem meloncat turun dari bus sambil terus menangis dan menjerit-jerit memanggil-manggil suaminya. Hampir seisi bus ikut turun. Ibu dan adikku mengikutiku mengejar Mbok Yem, mencoba menenangkannya.

"Tenanglah, Mbok Yem," bujuk ibuku sambil merangkul perempuan tua itu. "Mbah Joyo tidak ke mana-mana. Kita pasti akan menemukannya."

"Iya, Mbok," adikku ikutan membujuk. "Kalau pun Mbah Joyo kesasar, di sini ada petugas khusus yang ahli menemukan orang kesasar. Percayalah."

"Ya, Mbok, kalau memang betul-betul kesasar, saya nanti yang akan menghubungi polisi atau petugas yang lain," aku menimpali. "Mbah Joyo pasti kembali bersama kita lagi."

Aku sendiri dan mungkin juga ibu dan adikku tidak begitu yakin dengan apa yang kami katakan. Namun alhamdulillah, meski masih terisak dan bicara sendiri, Mbok Yem bisa agak tenang. "Mbah Joyo itu penyelamatku!" desisnya berkali-kali.

Kepala rombongan dan beberapa orang lelaki, termasuk sopir, yang mencoba mencari sampai di luar area tempat mereka tadi mencari kerikil, sudah kembali tanpa hasil. Ada yang menduga Mbah Joyo mungkin kesasar naik kendaraan lain yang diparkir di dekat mereka. Kita berunding dan sepakat akan meneruskan perjalanan sambil mencari. Semua kembali naik bus. Mbok Yem yang dibimbing ibu dan adikku, sebentar-sebentar masih menoleh ke arah padang gelap Muzdalifah. Ibu mengawani duduk dan masih terus merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu.
***
Subuh, kami baru sampai Mina. Semuanya terlihat letih, lebih-lebih Mbok Yem. Untung, tidak lama mencari, kami telah sampai kemah maktab kami. Dan, begitu masuk kemah, bukan main terkejut kami. Kami melihat Mbah Joyo sedang duduk bersila menyantap buah anggur dari pinggan besar yang penuh aneka buah-buahan. (Selain anggur, ada apel, jeruk, pisang, buah pir, dll).

Mbok Yem langsung menjerit, "Mbah Joyo!" dan menghambur serta memeluk dan menciumi suaminya itu sambil menangis gembira. Mbah Joyo sendiri hanya tersenyum-senyum agak malu-malu. Sejenak yang lain masih terpaku keheranan. Baru kemudian meluncur hampir serempak, "Alhamdulillaaaah!"

Semuanya kemudian merubung Mbah Joyo yang masih terus dipeluk, dielus, dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.

"Sudah dulu, Mbok Yem," tegur ketua rombongan, "nanti dilanjutkan kangen-kangenannya. Biarlah Mbah Joyo bercerita dulu." Kemudian kepada Mbah Joyo, "Mbah Joyo, Sampeyan ke mana saja semalam?"

"Iya, Mbah," sela yang lain, "Sampeyan salah masuk bus ya?!"

"Kok tahu-tahu Mbah Joyo sudah sampai di sini ini ceritanya bagaimana?" tanya yang lain lagi.

"Mbah Joyo sudah melempar jumrah ’aqabah?"

Mbah Joyo mengangguk sambil tersenyum. "Lihat, kan saya sudah pakai piyama!" Kemudian bercerita seperti sedang menceritakan sebuah dongeng.

"Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu dengan seorang muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik kendaraannya yang bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama rombongan kawan dan istri saya. Dia bilang sudah tahu dan meyakinkan saya bahwa nanti saya akan ketemu juga di Mina. Bapak sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya saya ikut. Sampai Mina saya dibawa kemari, disuruh istirahat sebentar. Saya tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya dibangunkan dan diajak melempar jumrah ’aqabah. Setelah itu saya diantar kemari lagi. Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia pamit dan katanya sebentar lagi kalian akan datang. Dan ternyata dia benar."

"Dia itu siapa, Mbah? Orang mana?"

"Wah iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu ketemu dia itu langsung akrab. Jadi saya kemudian sungkan dan akhirnya, sampai dia pergi, saya lupa menanyakan nama dan asalnya."

"Ajaib!"
***

Sesudah selesai melempar jumrah ’aqabah, rupanya jamaah sudah tak tahan lagi. Mereka bergelimpangan melepas lelah. Dan tak lama terdengar suara ngorok dari sana-sini. Kulihat Mbok Yem sendiri yang tampak masih segar dan ceria. Dia malah bercerita sambil memijit kaki ibuku. "Mumpung Mbah Joyo tidur," katanya. Sementara aku dan adikku ikut mendengarkan sambil tiduran. Namun tersentuh cerita Mbok Yem, tak terasa kami berdua akhirnya terduduk juga.

Rupanya Mbok Yem yakin apa yang dialami Mbah Joyo itu merupakan anugerah Allah yang ada kaitannya dengan amal perbuatannya. Dia menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika Mbah Joyo hilang di Muzdalifah. Mbok Yem ternyata dulunya adalah WTS --sekarang "diperhalus" istilahnya menjadi Pekerja Seks Komersial-- dan Mbah Joyo adalah "langganan"-nya yang dengan sabar membuatnya sadar, mengentasnya dari kehidupan mesum itu, dan mengawininya. Lalu Mbok Yem dan Mbah Joyo memulai kehidupan yang sama sekali baru. Di samping mendampingi Mbah Joyo bertani, Mbok Yem berjualan pecel, kemudian meningkat dengan membuka warung makan kecil-kecilan. Dan sebagian dari hasil pekerjaan mereka itu, mereka tabung sedikit demi sedikit. Bahkan mereka rela hidup tirakat, demi mencapai cita-cita mereka: naik haji. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosa mereka hanya bisa benar-benar diampuni, apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. Seperti kata pak kiai di kampungnya, haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Ternyata baru setelah setua itu, uang yang mereka tabung cukup untuk ongkos naik haji.

"Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang," kata Mbok Yem mengakhiri ceritanya. "Sehingga kami berdua masih berkesempatan menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah selesai nanti, kami ikhlas, kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini."

Mbok Yem mengusap airmatanya, airmata bahagia, baru kemudian pelan-pelan dibaringkan tubuhnya di sisi ibuku.

Oleh: A. Mustofa Bisri

Rabu, 20 Januari 2010

Renungan 1 Suro 1943

roda waktu kehidupan terus berputar
debar jantungku semakin melemah
tanpa sadar sudah dinanti alam kubur
dengan khusnul khotimah atau su’ul khotimah
berharap bisa khusnul khotimah
tetapi bagaimana caranya
berkali-kali mengubur jenazah
tetapi tidak pernah mengambil pelajaran darinya

berkali-kali dahiku bersujud menempel tanah
tetapi hatiku masih selalu pongah mendongak ke atas
selama ini menghabiskan waktu dengan aib-aib orang lain
sedangkan aib-aibku sendiri selalu kuabaikan
selama ini selalu menkmati anugrah-anugrahNya
sedangkan aku tak pernah sekalipun mensyukurinya
rasanya baru kemarin aku masuk gerbang kehidupan
tidak terasa sekarang sudah mendekati gerbang kematian
kematianku begitu juga dengan iblis adalah pasti
tak pernah aku mempersiapkanya dan jalan iblis selalu kuikuti
ingin memasuki surga dan menjahui neraka
tak pernah aku beramal dan terus berbuat dosa menuju kesana
mengaku umatnya tapi tidak mengikuti sunnahnya
membaca kitabNya tapi tidak mengamalkannya
mengenalNya tapi tidak menunaikan hak-hak Nya
khusnul khotimah,masihkah pantas aku mendapatkannya
damainya malam ini dengan rintik hujan
damainya sang bayi dalam dekapan sang ibu
dalam malam-malamMu terus kulalui jalan sunyi
mencoba belajar menghadirkanMu dalam nurani
bercinta dibawah lorong langit yang mulai hujan
bagaikan dua tubuh tapi hakikatnya adalah satu
bercanda dalam tawa menikmati ombak samudra
bagaikan dua suara tapi hakikatnya adalah satu
dengan mata kasih sayang Kau melihatku
dengan cinta kasih Kau membelaiku
dengan cahayaMu tuntunlah kembali jalanku
kembali kepada jalan ridhoMu
kurangilah kelak murkaMu padaku
limpahilah aku dengan berkah
setidaknya kelak pangil aku dengan khusnul khotimah
amin...amin...amin ya Rabb...
sore tadi diujung horizon matahariMu tengelam meningalkan senja
sang hilal pun telah memperlihatkan diri dengan sempurna
menandakan 1 muharram 1431 H telah tiba
ayo satukan niat dan bulatkan tekad bersama
mengapai cinta dan ridho Sang Pemilik alam semesta raya
S E L A M A T T A H U N B A R U H I J R I Y A H
semoga Allah selalu melindungi kita bersama
menjadikan kita pandai bersykur atas smua nikmatNya
menjadikan tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya
selalu disucikan dari dosa-dosa dan disempurnakan iman islam kita
amin...amin...amin ya Rabb...


aku...Alfaqir ‘indallah (1 muharram 1431)

Selasa, 19 Januari 2010

Coretan Buat Ketulusan Lelaki Hebat

Ayah begitu aku memangilnya dari mulai aku bisa bicara
Kata ibu ; ayah tdk ada disamping ibu ketika aku keluar dari rahimnya
Tidak sempat mengumandangkan adzan di telingaku waktu itu
Anehnya ibu tak bingung karena tau dimana ayah berada waktu itu


Ayah kata kedua setelah ibu yg bisa aku ucapkan
Kata ibu ; aku tdk akan bisa tidur mlm klu blm diajak ayah jalan-jalan
Tidak sempat tidur jika tau aku sedang sakit
Anehnya ibu tak bingung karena tau sifatnya kalau anak2nya sedang sakit

Ayah tak sekalipun ku dengar kau ucapkan cinta padaku sampe detik ini
Kata ibu ; itulah sikap seorang pecinta sejati
Tidak sempat ucapkan dengan kata tapi selalu dengan tindakan nyata
Anehnya ibu jatuh cinta dengan ayah justru karena ketulusan sikapnya

Disaat aku kecil dan bodoh dimataku dialah lelaki yang besar dan pintar
Disaat aku besar dan pintar dimataku dialah lelaki yang kecil dan polos
Disaat aku kecil aku selalu menyanjungnya
Disaat aku besar aku tetap menghormatinya
Begitulah seharusnya

Sekarang yang tertinggal adalah sketsa-sketsa keprkasaanmu
Sekarang yang tersisa adalah kontur-kontur ketegaranmu
Biarpun tinggal sketsa-sketsa,Ayah masih perkasa kayak dulu
Biarpun tinggal kontur-kontur,Ayah masih tegar kayak dulu

Berjuta-juta tetesan keringat Ayah keluarkan
Berjuta-juta kalimat doa ayah ucapkan
Berjuta-juta tetesan air mata malam ayah teteskan
Tapi aku tak pernah lihat itu semua dan tak pernah aku pikirkan
Karena cinta ayah adalah ketulusan sikap dan perbuatan

Ayah berpesan kepadaku
Seorang lelaki tugasnya hanya satu
Kelak kamu harus bisa !
Menjahukan istri dan anak2mu dari api neraka
Seperti yang tertulis dalam kitabNya

Ayah memang tak sehebat Ibrohim
Ayah memang tak semulia Muhammad
Kumohon ampunilah dosa-dosanya Ya Rahiim
Ridhoilah sisa-sisa umurnya dgn kebaikan Ya Majiid

Lelaki itu sudah menjadi ayah yang baik
Lelaki itu sudah menjadi suami yang baik
Saudara-saudaraku,aku dan ibuku bersaksi untuk itu
Ayahku sudah menjadi imam sesuai perintahMu
Kelak kumohon tempatkan ayahku dalam surgaMu
Amin...
Terima kasih tuk semuanya Ayah...

(Anakmu...05 muharram 1431 H)

Senin, 18 Januari 2010

Wanita Paling Suci & Sexy.....

Kulitmu kuning langsat biarpun mulai kriput
Rambutmu mulai memutih seputih jilbabmu
Di wajahmu masih terlukis keindahan mata,hidung,bibir dan alis yg masih lebat
Body gitar spanyolmu tertutup rapat oleh daster kesukaanmu
maafkan aq sexy yg selalu mengodamu


dalam dirimu kulihat dirinya
tutur katanya petunjukmu
dalam sinar matamu memancar cahayanya
linangan air matanya adalah ridhomu
maafkan aq suci yg selalu membantahmu

Hadirmu adalah gunung atau pun pohon rindang
tempatku berteduh, berkeluh kesah dan berlindung
Hadirmu adalah mentari dan purnama
yg menuntun perjalananku mencari jejak sorga
di kedua telapak kakimu

kesabaranmu layaknya hamparan sajadah tmpku bersujud
keikhlasanmu layaknya pelukan cintanya padaku
aku berjanji akan menjadi jalanmu kepada sang wahiid
injaklah kepalaku sebagai titian menuju surga sang qawiyyu

ya rabb aku bersaksi...
tugas yg kau berikan sudah dilaksanakan dengan baik oleh ibuku
layaknya seorang ibu sejati, maka kelak tempatkanlah ibuku bersama para kekasihMu...
Amin...

Jazaa kallahu khairan ibu...

(Anakmu...10 Dzulhijjah 1430)

Minggu, 17 Januari 2010

Bismillah...

apapun yg akan qt lakukan awali dgn menyebut AsmaNya...