Selamat datang di Gubuk Mayaku semoga apa yang tergores disini bisa memberikan percikan-percikan cahaya dihati terutama buat diriku sendiri

Label

Jumat, 24 September 2010

Podium Husni

”La ya'riful Waliy illal Waliy”.

Tak tahu Wali kecuali Wali. Tak tahu penyair kalau bukan penyair. Biarlah Husni Djamaluddin Penyair diketahui, dipahami, dimengerti, dihayati, dituliskan, oleh para penyair. Aku bukan.

Pernah kutulis puisi, ribuan, bahkan, tapi tak membuatku jadi penyair. Penyair-ku gagal total. Alhamdulillahi robbil'alamin. Puji Tuhan.

Pernah kutuliskan ribuan esei, kuterbitkan 52 buku, tapi paling jauh sekedar membuatku jadi Penulis. Aku Penulis, yang tak diakui oleh diriku sendiri. Apa itu Penulis? Apa itu Penulis, di hadapan Iqra~ ? Masih adakah makhluk bikinan yang stagnan hidupnya dalam kebanggaan sebagai penulis - di kungkungan al'arsy al'adhim, semesta maha agung yang tak terpahamkan ini? Penulis tak tahu malu. Penulis tak ngerti diri. Yang bangga jadi Penulis, matilah sebelum mati.

Sudah kubunuh penulis-ku. Telah kubatalkan eksistensiku. Telah kutanggalkan diri, satu sekon sesudah kuketahui bahwa diriku sekedar seakan-akan diri. Kalau diperkenankan, di sisa hidupku aku berpura-pura tak kenal diriku, karena Sang Diri menelanjangiku!

Tak kupunyai saham apapun. Segalanya barang pinjaman. Juga yang seolah diriku ini. Sahamku nol persen, tak berhak aku atas segala jabatan, sekedarpun jabatan sebagai manusia. Telah kukembalikan semua barang pinjaman ini kepada Pemiliknya, tanpa perlu Ia mengambilnya kembali melalui Malaikat Maut.

Husni Djamaluddin kekasihku di Tuhan. Melintas-lintas sejenak di dunia hina dina, sekedar untuk mentertawakannya.

***
Tak sanggup kutuliskan apa-apa. Bisa aku ketik lima tulisan dari satu pertandingan sepakbola. Tinggal mengimajinasikan suatu mapping dimensi-dimensi. Memperluas lapangan bola menjadi lapangan nilai. Menentukan angle-angle. Menyerahkannya kepada otak. Kemudian otak memberi perintah kepada jari-jari di atas keyboard komputer. Dan lima tulisan itu bisa terselesaikan kurang dari dua jam.

Karena untuk menulis tak kuperlukan enerji atau kesibukan. Hanya sedikit waktu. Allah pinjamkan hardware si otak ini. Setiap saat Ia memancarkan gelombang elektro-magnetik yang Ia sebut al'aql, akal. Sehingga si otak melakukan pekerjaannya, yakni berpikir. Otak berpikir, atas pertolongan akal. Otak yang berpikir, aku tidak. Aku tidur, dan tatkala bangun otak lapor dan menyodorkan hasil kerjanya. Tanganku tinggal menuliskannya.

Tetapi hal itu justru yang menyebabkan aku terbata tatkala harus menulis sesuatu berkaitan dengan Husni Djamaluddin. Apa gunanya seribu kata diucapkan atau dituliskan di tengah nikmatnya percintaan kami yang sudah meninggalkan kebudayaan di belakang punggung? Kami berdua sering menulis puisi, sekedar untuk konsumsi jiwa kanak-kanak yang bersemayam di badan manusia sepanjang hidupnya. Kami berdua meladeni dunia, konstelasi, era, zaman, peradaban - sebagaimana seorang kakek bermain-main dengan cucunya. Kami berdua menyanyikan ilmu-ilmu, romantisme sosial, keasyikan bermasyarakat - sebagaimana seorang tamu menghirup kopi hangat dari cangkir yang disuguhkan dalam perjamuan yang sesungguhnya terdiri atas 90% kepalsuan.

Kini harus kusapa Husni Djamaluddin dengan bahasa orang lain, bukan bahasa kami berdua. Maka untuk mengambil keputusan tentang satu kata buat Husni Djamaluddin dalam bahasa dunia, aku butuh tak kurang dari setengah tahun.

***
Namun kukerjakan dan kuhayati peran di dunia ini, seolah-olah sungguh-sungguh aku hidup di dunia dan dengan dunia. Kucoba tuliskan itu semua seakan-akan Husni Djamaluddin memerlukannya, sehingga setengah tahun itu berisi hari-hari dengan duri gaib yang menusuk-nusuk kalbuku.

Kurelakan 'pemeranan' ini. Duri itu berasal dari kedalaman kalbu itu sendiri. Duri-duri membuat jiwa perih, karena ia berasal dari lubuk kandungannya sendiri. Siksaan tak terperikan karena wujudnya di gambar perasaanku adalah semacam pengkhianatan cinta. Semakin tak kutemukan kata itu buat beliau, semakin kukutuk diriku sendiri karena tak sanggup menuturkan satu kata setia kepadanya.

Padahal sudah 36 tahun aku menulis puisi, dan kini tiba di puncak kebodohan. Ternyata ribuan puisi yang pernah kutulis itu hanya karangan, dan bukan kesejatian. Pantas aku disebut Pengarang. Dan betapa dungunya aku pernah sesekali berbangga disebut Pengarang. Husni Djamaluddin menyapa hidupku berpuluh tahun dengan hidupnya. Setiap dan seluruh sapaannya mencampakkanku ke ruang kesejatian. Sapaannya kepadaku bukan sapaan seorang penyair, bukan sapaan seorang warga negara dari suatu kekonyolan yang bertele-tele yang bernama Negara, Indonesia, Orba, Reformasi, system, pemilu, hipokrisi visi dan missi, talkshow-talkshow ABG, era komunikasi-informasi badut-badut - deretan kepalsuan-kepalsuan, estafeta kesementaraan-kesementaraan, yang ujungnya kelak berupa over-populasi yang tak tertanggungkan, tercecer-cecer dan terboroskannya bahan energi, peradaban nutrisi rendah bersamaan dengan sirnanya kesanggupan ummat manusia untuk memahami martabat kemanusiaannya sendiri. Kemudian kehancuran.

***
Tidak satu hurufpun di antara Husni Djamaluddin dengan aku boleh direbut oleh kekonyolan-kekonyolan itu. Dulu waktu masih muda bolehlah kami barang beberapa puluh % meladeni tipuan dan kehinaan zaman. Sejak beberapa lama ini kami sudah tua, dan hanya orang tua yang tidak tua yang tidak mengikatkan diri pada ilmu tua. Kunci Ilmu Tua sangat sederhana: memahami dan mengambil hanya yang sejati dan abadi.

Milyaran anak-anak muda menghabiskan isi bumi, menjalankan kebudayaan pesta dan peperangan-peperangan tak berkesudahan, menyia-nyiakan usianya berputar-putar untuk hanya sebagian sangat kecil di antara mereka yang tiba pada Ilmu Tua. Ilmu Tua mentertawakan setiap manusia karena segala yang ia perjuangkan, cita-citakan, harapkan, dambakan, tempuh dan ikhtiarkan sampaipun dengan cara merampok atau mengemis - sesungguhnya adalah sebuah kenyataan sangat bersahaja yang sudah ada padanya, yang semua orang sudah sejak awal memilikinya, terselip di sudut jiwanya - namun hanya bisa ditemukan oleh mata sejati dan mata abadi.

Ya dun-ya ghurri ghoiri, laqad thalaqtuka tsalatsatan! - kata si Pintu Ilmu, Ali bin Ali Thalib yang Allah memuliakan wajahnya -- Wahai dunia! Kamu mendekat-dekat padaku, berusaha keras merayu-rayuku, sudahlah, berhentilah, karena diam-diam, jauh di lubuk hatiku, sudah kutalak-tiga kehebatanmu. Wahai dunia! Kugenggam engkau di tanganku, kuselipkan di salah satu jari-jariku. Cukuplah itu bagimu. Berhentikan mengharapkan agar aku memasukkanmu ke dalam hatiku. Yang berhak mendiami hatiku adalah kekasih-kekasihku, dan engkau tak punya apapun untuk pantas menjadi kekasihku. Terimalah nasibmu, wahai dunia! Uruslah jabatan, karier, segala khayalan tentang kemajuan dan pembangunan. Aku mensupportmu dalam posisi itu, tapi hentikanlah mimpi untuk menguasai hidupku, apalagi untuk mendapatkan tempat persemayaman di kandungan jiwa cintaku.

***
Aku sedang sedikit melanggar aturan, menguakkan sedikit jendela agar engkau mengintip sekilas ke dalam ruang kehidupan jiwa Husni Djamaluddin yang sesungguhnya. Yang engkau mengenalinya secara superfisial dan artifisial melalui wujud-wujud remeh bahwa ia adalah penyair, eseis, penulis, budayawan, strateg, atau apapun.

Beberapa tahun silam, Husni Djamaluddin menggendong cucunya pagi-pagi, hendak mengantarkannya pergi sekolah. Begitu kelua pintu rumah putrid dan menantunya, sebuah colt meluncur dan mengantamnya. Ia terjatuh, pingsan, diangkut ke rumah sakit. Wajahnya memar, sehingga kupandang di pembaringan itu wajah Husni Djamaluddin yang benar-benar wajahnya, karena wajah samarannya dimemarkan oleh Allah sehingga hilang bentuknya. Di dalam pingsannya kutemukan jiwa sejatinya, ucapan-ucapan sejatinya, kejernihan kalbunya. Kami omong-omong, berbisik-bisik, tersenyum, tertawa, sesekali memekik, kemudian mentertawakan dunia kembali.

Kalau engkau menyangka bahwa tubuh yang terbaring di Rumah Sakit itu adalah Husni Djamaluddin, maka engkau benar sekitar 1%. Karena kalau engkau menyangka badan terbaring itulah Husni Djamaluddin sepenuhnya, maka engkau takkan mengenalinya. Husni Djamaluddin yang dirumus-rumuskan oleh ilmu sosial dan pendekatan kebudayaan, hanyalah inisial-nya, tanda-tanda sekilas dari eksistensi sejatinya, hanya gelagat-gelagatnya. Dan jika yang engkau kenali pada Husni Djamaluddin terbatas pada gelagatnya, maka engkau akan bisa kehilangan Husni Djamaluddin. Maaf-maaf, aku tak akan pernah kehilangan Husni Djamaluddin!

***
Kalau engkau sekarang memandang jasad wajah Husni Djamaluddin, tak kan engkau temukan satu goresanpun yang bisa menceritakan kepadamu peristiwa pagi ketika colt meluncur itu menabraknya, melemparkannya dan menghancurkan lukisan jasad wajahnya. Sudah kubilang yang ditabrak colt itu bukan Husni Djamaluddin!

Di masa mudanya Husni Djamaluddin nyetir mobil di jalan tol dan tak ada sisa ruang pada pijakan gasnya karena ia gas pol habis. Tetapi ia tak perlu menjadi Pembalap. Kalau pakai idiomatic bahasa Jawa Husni Djamaluddin adalah lelananging jagad - lelakinya dunia. Tetapi lelakinya maupun kelelakiannya tidak pernah sanggup memenjarakannya. Tak sanggup menguasai Husni Djamaluddin yang sesungguhnya.

Ia bukan sekedar bukan sebuah primordialitas yang bernama Seorang Lelaki, Penulis, Tokoh, atau apapun. Bahkan primordialitas sebagai Manusia juga tak bisa menghalangi langkah kesejatiannya. Manusia tidak berhenti hanya menjadi manusia, kecuali ia tak bisa dinamakan manusia. Itu yang disebut makhluk dinamis. Sebagaimana kaum Jin. Berbeda dengan Malaikat dan Iblis yang statis. Manusia dan Jin adalah makhluk kemungkinan. Malaikat dan Iblis adalah makhluk kepastian. Malaikat hanya punya satu kepastian: ya'malu ma yu~marun. Mengerjakan yang diperintahkan. Manusia dan Jin memperoleh peluang demokrasi, mentakdirkan dirinya sendiri sampai prosentase tertentu.

Manusia ditantang Allah mengembarai langit tujuh, yang melingkar, bukan bersap-sap. Sab'a samawat. Dari langit pertama, lambang Allah sendiri. Ke langit kedua: manusia sebagai benda. Langit ketiga: manusia sebagai benda yang berketumbuhan. Langit keempat: benda yang berketumbuhan, berdarah daging dan bernafsu, alias hewan. Langit kelima: benda yang berketumbuhan, berdarah daging, bernafsu, namun juga berakal.

Kemudian langit keenam: ialah langit kreativitas. Langit ijtihad (eksplorasi pemikiran). Langit jihad (perjuangan fisik). Langit mujahadah (pendakian spiritual). Langit fenomenologi.

Politik dan ekonomi sangat sukses membawa manusia turun derajat ke langit hewan. Para seniman termangu-mangu di persimpangan seribu jalan atara langit keenam dengan langit ke tujuh.

Husni Djamaluddin melebur ke langit ketujuh. Bersujud di depan gerbang Langit Pertama.

Rasulullah Muhammad SAW tak pernah tak menitikkan airmata ketika berpapasan dan memandangnya. Beberapa kali beliau menyempatkan diri menemui Husni Djamaluddin pada detik, menit dan jam terbaik dari segala hari. Yakni waktu shalat Subuh. Mungkin itu imbalan kenikmatan dari derita dunia Husni Djamaluddin yang sesekali dilempari hawa buruk santet tenung di detik menit jam paling rawan bagi kesehatan jiwa manusia: yakni menjelang senja hari.

***
25 tahun silam Husni Djamaluddin di tengah malam menyeretku sampai ke depan pintu musholla kuno - di sebuah dusun di Sulawese Selatan -- tempat seorang Waliyullah besar beribadah. Mushalla yang orang tak berani memasukinya, terutama para pendosa, karena dibayangkan Allah akan menyikapi langsung dosa-dosa hamba yang memasukinya. Karena Allah sangat menghormati kesucian kekasihnya, Waliyullah penghuni Mushalla itu. Engkau ditempeleng Allah kalau berani-berani memasukinya.

Husni Djamaluddin tahu aku seorang pendosa yang dosanya serius, maka ia menyorongku memasukinya, tanpa Husni Djamaluddin sendiri memasukinya. Aku sempat berpikir sejenak: Husni Djamaluddin tak perlu makan untuk kenyang, Husni Djamaluddin tak perlu bersuara untuk terdengar menyanyi, Husni Djamaluddin tak perlu selalu menulis puisi dan orang tetap menemukan puisinya meskipun belum tentu dituliskannya.

Di atara lintasan pikiran-pikiran itu aku ada sempat memakinya. Kurang ajar betul dia ini menyorong-nyorong orang bergelimang dosa memasuki kesucian Mushalla sang Wali. Maka aku mengeluh kepada Allah: "Ya Allah betapa maha besarnya Engkau sehingga ada-ku dan tiada-ku sama sekali tak berarti bagiMu. Ya Allah, tak bisa kubayangkan bahwa dengan kemaha-agunganMu Engkau masih perlu marah kepadaKu. Ya Allah, hamba ini tiada. Hamba ini tiada. Apakah sesuatu bisa ditimpakan kepada yang tiada, ya Allah pemenuh jiwaku?"

Kemudian kaki si Tiada ini melangkah masuk ke Musholla. Allahu Akbar. Betapa sejuknya hawa di sini, padahal betapa panas dan gerahnya di luar sana. Di ruangan tertutup ini alam dilanggar, suhu seharusnya lebih tinggi, tapi kesejukan yang menerpa dari ujung rambut sampai pucuk setiap jari-jari. Ratusan nyamuk berdengung-dengung, mengitari begian atas kepalaku, namun tak satupun menyentuh kulitku. Aku bersujud. Lama sekali. Aku shalat. Sepanjang-panjangnya.

Tak kuizinkan ada satu sekon di mana Allah tak kusebut namaNya dan kupuji kemurahanNya. Aku seorang pendosa, bukan?

Sampai kemudian, setelah sekian jam, terdengar adzan Subuh. Aku berpamitan. Kemudian bersama Husni Djamaluddin pergi berjamaah Subuh di Masjid Jami' yang didirikan oleh Waliyullah itu sekian puluh tahun silam.

Seorang murid sang Wali yang sejak tadi menungguku bersama Husni Djamaluddin, bertanya kepadaku: "Ke mana tadi Cak Nun? Ketika Rasulullah mengimami sembahyang para Rasul, para Auliya - ke mana Cak Nun kok tak kelihatan?"

Aku menjawab sekenanya: "Aku nimba di bagian samping Masjid, supaya lancar wudlu beliau-beliau. Kemudian ketika shalat jamaah berlangsung, aku hilir mudik menjaga dan mengawasi segala sesuatu di sekitar Masjid, agar aku tidak cemas dan yakin bahwa segala sesuatunya berjalan lancar. Aku ini berderajat sendal atau keset pembersih sendal. Kebanyakan manusia memilih menjadi peci, dan peci tak pernah mau membersihkan kotoran apapun, malah ia yang setiap kali perlu dibersihkan".

Husni Djamaluddin hanya tersenyum-senyum mendengar itu. Ia tahu itu hanya jawaban seorang pengarang. Tapi Husni Djamaluddin mengalah dan tidak bernafsu mempermalukanku dengan mengungkapkan yang sesungguhnya.

***
Itu semualah majlis yang sesungguhnya dari Husni Djamaluddin. Podium sejatinya. Maqamnya. Titik koordinat di tengah kosmosnya. Apakah engkau menyangka Husni Djamaluddin adalah yang kau sangka Husni Djamaluddin? Apakah tak sesekali engkau mengira Husni Djamaluddin bukanlah yang kau kira Husni Djamaluddin?

Apa artinya sepuluh ribu puisi yang andaikan Husni Djamaluddin pernah tulis dibanding liqa~un adhiem, perjumpaan agung ia dengan Rasulullah SAW? Hidup kita dipenuhi oleh perjumpaan-perjumpaan hina dan culas dalam politik, perjumpaan-perjumpaan rakus serakah dalam berekonomi, serta perjumpaan-perjumpan penuh tahayul dan mitologi dalam berkebudayaan.

Husni Djamaluddin bukan tak pernah berada dalam liqa~un jahil semacam itu, tapi ia selalu mengerti ke mana sesudahnya harus pergi. Karena Husni Djamaluddin mengerti muatan perjumpaan agung adalah mitsaqan ghalidha, perjanjian cinta yang mendasar dan kenikmatan rindu. Bukan cinta dan kerinduan semacam punya kita di mal-mal, café, kantor, atau gedung kesenian.

Datanglah ke Husni Djamaluddin. Minta ia ajak engkau ke majlis-nya. Untuk itu jangan seramkan wajahmu, tapi tersenyumlah. Jangan formalkan perilakumu, tapi mesralah. Allah bukan Presiden, bukan Kepala Kantor, Direktur Perusahaan, Komandan Kodim atau Preman.
Di setiap majlis pengajian, biasanya Rasulullah menghindar untuk duduk di samping atau di sekitar para Sahabat yang perokok. Rasulullah pasti tahu bahwa perokok pasif lebih rawan nasib kesehatannya disbanding perokok aktif. Menantunya, Ali bin Abi Thalib, juga sangat toleran dan bersikap protektif terhadap mertuanya ini, dengan selalu "mencuri start" duduk di samping Rasulullah, agar para perokok tak mendekat.

Sering akan terlalu kentara upaya proteksi Ali atas Rasulullah itu, sehingga Rasulullah - mungkin - menjadi merasa agak risih tak tak enak hati kepada yang lainnya.

Majlis malam itu dibikin meriah oleh seorang Sahabat yang membawa buah korma dalam jumlah yang sangat banyak dibanding biasanya. Pelan-pelan tapi pasti, seluruh jamaah akhirnya melihat bahwa Rasulullah berperilaku agak aneh dengan korma itu.

Setiap kali Rasulullah makan korma, bijihnya selalu diletakkan di depan Ali menantunya. Sampai akhirnya di depan Ali menghampar dan bertumpuklah bijih-bijih korma itu, sementara di depan Rasulullah sendiri tak ada sebijipun bijih korma. Dan tiba-tiba pula Rasulullah melakukan interupsi:

"Saudara-saudaraku semua, mohon waktu sejenak. Kita telah membicarakan berbagai masalah besar yang menyangkut kehidupan seluruh ummat manusia di muka bumi. Hendaklah kita jangan lantas melupakan soal-soal yang tampaknya kecil dan sepele. Cobalah perhatikan, yang paling rakus di antara kita yang hadir malam ini adalah seseorang yang di depannya terdapat tumpukan bijih korma.."

Semua sahabat tertawa dan menikmati humor Rasulullah. Tapi segera terdengar jawaban Ali: "Aku akui hal itu, tapi hendaklah kita mengembangkan pikiran kita ke ilmu yang lebih tinggi. Yang lebih rakus lagi adalah yang di depannya tidak satu bijih kormapun karena sudah dimakan bersama daging korma."

Tertawa membahana lagi. Kali Rasulullah tidak menjawab. Hanya setelah keriuhan mereda, Rasulullah berkata pelan-pelan: "Para sahabatku sekalian, aku yakin kalian cukup cerdas untuk mengamati bahwa yang aku lakukan ini tadi adalah memancing agar tampak pada kalian betapa pandai dan cerdasnya Ali. Oleh karena itu, barang siapa berniat mencari ilmu yang tinggi, hendaklah ia melalui pintunya. Dan Ali-lah Babul' Ilmi, pintu ilmu"

Terkagum-kagum para Sahabat ternyata di balik gurauannya Rasulullah sesungguhnya sedang menggiring jamaah menuju suatu pengetahuan baru yang sangat serius. Tapi belum lama para Sabatan termangu-mangu dengan kesadarab barunya, terdengar kata-kata Ali: "Apabila kalian berjalan melewati pintu ilmu, ke manakah kalian pergi dan apakah yang kalian masuki? Ialah Madinatul 'Ilmi. Kota Ilmu. Dan siapakah di antara hamba-hamba Allah yang layak mendapatkan anugerah dariNya untuk menjadi Kota Ilmu selain Rasulullah Muhammad SAW?"

Dan, Allahu Akbar, Husni Djamaluddin memperoleh derajat untuk didatangi oleh Kota Ilmu..Pantas namanya Sebaik-baik (Husni) Keindahan (Djamal) Kasih Sayang Allah / Agama (ud-Din)*****sumber CNKK



* Tulisan Emha untuk buku 70 tahun penyair Makassar Husni Djamaludin, sahabat Emha sejak puluhan tahun yll, terutama dalam konteks Imam Lapeo dan masyarakat Mandar, di mana Emha sudah diangkat menjadi Sesepuh Masyarakat Mandar sejak tahun 80an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar